Padang – Terorisme disebut sebagai salah satu bentuk masalah sosial yang mengancam nilai kemanusiaan yaitu akal, empati, dan kebudayaan. Hal itu dikatakan Ka’bati, S.Sos.I., M.Si., dari The Padusi Center yang juga dosen UIN Imam Bonjol saat menjadi narasumber kegiatan Dialog Kebangsaan Bersama Ormas dan Tokoh Perempuan Dalam Rangka Meningkatkan Toleransi dan Moderasi Beragama di Asrama Haji Padang, Sumatera Barat, Rabu (8/10/2025). Kegiatan ini digelar sebagai hasil kolaborasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Komisi XIII DPR RI.
Menurutnya, dalam berbagai kamus dan literatur, terorisme diartikan sebagai tindakan sekelompok orang yang merusak, menebar rasa takut, memecah belah masyarakat, serta memperalat manusia demi kepentingan politik, ideologis, atau tujuan lain.
“Ciri khas kelompok teroris adalah cara berpikir yang sempit, tertutup, intoleran, dan eksklusif. Mereka sulit diajak berdialog dan menutup diri dari pandangan yang berbeda,” ujar Ka’bati.
Ia menilai, budaya matrilineal Minangkabau sejatinya menyimpan potensi besar dalam membangun ketahanan sosial terhadap paham ekstrem. Prinsip adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah menjadi cerminan bagaimana Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin bisa hadir secara kontekstual dan damai di dalam budaya manapun.
Namun, Ka’bati menyoroti kecenderungan sebagian masyarakat yang memahami agama secara kaku dan hitam putih.
“Kadang orang berpikir, kalau Islam harus begini, kalau Minang harus begitu. Saya tidak mengatakan itu terorisme, tapi pola pikir seperti itu bisa menumbuhkan benih intoleransi. Maka perlu usaha bersama untuk mencairkannya,” jelasnya.
Ia menegaskan, agama sejatinya hadir untuk menyejukkan, bukan menakut-nakuti. “Banyak ayat Al-Qur’an yang menegaskan bahwa agama diturunkan untuk membawa kedamaian dan ketenteraman,” ucapnya.
Lebih lanjut, Ka’bati mengingatkan bahwa manusia berbeda dari makhluk lain karena memiliki akal, pikiran, dan budaya. “Manusia adalah makhluk berbudaya — makhluk yang mampu mencipta, memiliki rasa, dan karsa,” katanya.
Menurutnya, rasa melahirkan empati, cipta menghasilkan kreativitas, dan karsa menunjukkan kehendak untuk berbuat baik. “Ketika seseorang terpapar ideologi intoleran atau kekerasan, tiga hal ini yang pertama hilang. Ia kehilangan empati, kehilangan kemampuan berpikir terbuka, dan kehilangan kemanusiaannya,” tutur Ka’bati.
Ia menutup dengan pesan bahwa menghadapi ekstremisme tidak cukup hanya dengan pendekatan keamanan, tetapi juga dengan pendekatan budaya dan kemanusiaan.
“Islam dan budaya kita mengajarkan keseimbangan. Jika nilai-nilai itu hidup dalam diri masyarakat, tidak akan ada ruang bagi terorisme,” pungkasnya.
Damailah Indonesiaku Bersama Cegah Terorisme!