Solo – Aksi terorisme itu tidak bisa dilepaskan dari pemberitaan media, baik media massa maupun media sosial. Faktor inilah yang sekarang dimanfaatkan para pelaku paham radikalisme dan terorisme untuk ‘mempromosikan’ tindakan-tindakan mereka.
“Terorisme mau besar atau mau kecil tergantung dari media. Contohnya bom Thamrin. Apa berita yang muncul? Tukang gorengan tidak takut dan tukang sate tetap berjualan di sekitar tempat kejadian. Kalau media teliti, harusnya proses pelumpuhan tersangka Afif yang dibesarkan. Dia itu jebolan pesantren, mantan napi, dan berani menembak orang secara membabi-buta,” papar Direktur Pencegahan BNPT Brigjen Pol Drs Hamidin Dialog Pencegahan Paham Radikal Terorisme dan ISIS Untuk Kalangan Imam Masjid dan Dai Muda se-Jawa Tengah di Hotel Lorin, Solo, Jawa Tengah, Kamis (31/3/2016).
Padahal, lanjut Hamidin, dunia mengakui Indonesia hebat dalam menangani teroris. Setelah terjadi bom Thamrin, dua stasiun televisi BBC (Inggris) dan NHK (Jepang) langsung memasang stopwatch. Mereka memberitakan hanya 10-15 menit petugas sudah berhasil melumpuhkan para tersangka dan 27 menit panser sudah ada di lokasi. Bahkan mereka juga memberitakan bahwa petugas hanya dengan pistol tanpa alat pengamanan saat melumpuhkan tersangka.
Menurut Brigjen Hamidin, teroris sekarang tidak sama dengan dulu. Mereka sekarang pakai sistem asimetri yaitu dengan kekuatan sedikit tapi akibatnya besar dan memilih korban-korban lemah, soalnya kau menyerang militer atau polisi tidak mungkin karena mereka pasti mati.
“Mereka menyerang fasilitas umum yang banyak orangnya. Setelah kejadian masyarakat biasanya menuntut pemerintah dan aparat serta menanyakan mana rasa umum,” jelas mantan Kapolres Jakarta Pusat ini.
Berbicara tentang radikalisme, kata Brigjen Hamidin, yang terjadi saat ini sederhana yaitu adopsi atau transfer ideologi radikal dimana ideologi itu membenarkan kekerasan dan mengatasnamakan agama. Ciri-cirinya mereka biasanya tidak toleran. Jadi paham salafy, jihadi, takfiri ini tengah berupaya membuat orang-orang menjadi kafir. Mereka juga fanatik dan menganggap yang dilakukan orang lain sah dan tidak mau bergabung dengan pengajian dengan orang.
Setelah itu, lanjut Brigjen Hamidin, ada proses radikalisasi yang diawali dengan pra-radikalisasi. Biasanya proses ini cenderung pada etnis yang sama. Kemudian ada orang yang lain yang memberikan pemahaman tentang hadits dan ayat yagn mereka belokkan menjadi ajaran radikalisme. Setelah masuk doktrin yang dimulai jihadisasi. Mereka mengatakan hanya kelompok mereka yang benar, yang lain salah.
“Kalau sudah begitu, hal-hal duniawai di tinggalkan. Mereka bilang lebih baik kaya hati daripada kaya harta,” pungkas Brigjen Hamidin.