London – Islamofobia di Inggris lebih banyak dikaitkan dengan islam dan muslim. Bahkan islam dan muslim dinilai sembilan kali lebih banyak dibandingkan saat mengidentifikasi para kelompok sayap kanan seperti neo nazi dan supremasi kulit putih.
Kesimpulan didapat dari sebuah laporan baru berjudul How The British Media Report Terrorism, CfMM, sebuah lembaga yang berdomisili di Inggris. Dalam penelitian ini, CfMM telah menganalisis lebih dari 230 ribu artikel yang diterbitkan 31 media online nasional untuk menunjukkan inkonsistensi dalam pemberitaan serangan teroris, tergantung pada latar belakang pelakunya.
Berdasarkan perbandingan statistik serangan teror yang terjadi dalam 18 bulan terakhir, menunjukkan keengganan media untuk melabeli serangan supremasi kulit putih sebagai setangan teroris, dibandingkan saat menyebut para jihadis Muslim.
Penelitian ini menunjukkan, presenter dan reporter di seluruh saluran terestrial sering gagal menantang supremasi kulit putih dan retorika anti-Muslim selama liputan serangan Christchurch.
“Situs berita online, khususnya Mail Online, telah menggunakan frase “Allahu Akbar” di headline sebagai singkatan dari terorisme yang dilakukan oleh individu berlatar belakang Muslim,” bunyi pernyataan dalam penelitian tersebut yang dikutip di 5 Pillars, Rabu (26/8/2020).
Meski begitu, upaya perbaikan telah terlihat dalam setahun terakhir, dengan pengakuan yang lebih besar terhadap teror supremasi kulit putih, yang merupakan dalang dari serangan besar di Christchurch dan El Paso.
“BBC, ITV, dan Sky telah menjelajahi masalah terorisme “supremasi kulit putih” dengan ketelitian yang jauh lebih besar dalam liputan langsung mereka dengan beberapa contoh terbaru yang luar biasa,” ujar Rizwana Hamid, Direktur Pusat Pemantauan Media, dikutip dari laman Republika.co.id.
Dia mengatakan, meskipun kini tampaknya ada pengakuan akan pentingnya konsistensi dan skala ancaman sayap kanan di antara penyiar, dan sebagian besar pers, namun inkonsistensi masih tetap ada. Dimana fokus media masih tidak proporsional terhadap Muslim.
“Inkonsistensi tetap ada, dengan fokus yang tidak proporsional pada Muslim. Yang paling parah, tajuk berita yang menggunakan istilah-istilah agama seperti ‘Allahu Akbar’ menyiratkan bahwa agama selalu menjadi motivator, mengabaikan faktor-faktor lain seperti sejarah kriminal dan masalah kesehatan mental yang mungkin berperan, dan yang sering disebutkan ketika pelakunya bukan Muslim,” jelasnya.
“Namun, dalam interaksi kami dengan direktur editorial, editor pengelola, koresponden keamanan, dan produser senior, umumnya ada kemauan untuk berefleksi, dan kami berharap rekomendasi kami membantu meningkatkan standar bagi kita semua,” tambahnya.
Dalam penelitian ini, para peneliti CfMM menyarankan penggiat media untuk mengadopsi definisi terorisme yang transparan dan diterapkan secara konsisten, serta menyertakan fakta yang relevan.
“Hindari pernyataan saksi yang tidak kompeten, hindari pula hubungan palsu antara terorisme dan praktik Islam normatif, yaitu seseorang yang pergi ke masjid tidak boleh melibatkan masjid dalam kejahatan individu,” tulisnya.
Hindari judul dengan istilah “Allahu Akbar” sebagai singkatan dari motif. Hindari pula platform suara supremasi sayap kanan dan kulit putih, kecuali dalam keadaan di mana pandangan mereka dikontekstualisasikan dan dapat cukup ditantang,” ujar dia.