Sebagai sebuah kejahatan luar biasa, terorisme merusak bukan saja tatanan masyarakat, tetapi juga pola pikir dan watak dasar manusia. Terorisme, dengan kata lain, bukan saja menyasar bangunan-bangunan fisik, tetapi juga sikap diri dan hal paling mendasar manusia, yakni hati nurani. Dengan propaganda yang selalu saja diatasnamakan agama, terorisme meyakinkan manusia bahwa kekerasan boleh dilakukan selama hal itu dimaksudkan untuk menyenangkan tuhan. Atas nama agama pula, terorisme memberedel kesadaran manusia bahwa kita semua sesungguhnya bersaudara.
Hal menarik yang mencuri perhatian seiring dengan kemunculan terorisme adalah posisi dan peran media, di satu sisi media berusaha sebisa mungkin menghindari terorisme yang dikhawatirkan akan memberangus kebebasan media untuk menyampaikan berita atau opini, namun di sisi lain media juga tampak kegirangan dengan gelimangan berita seputar terorisme simply karena berita-berita seputar kehidupan sehari-hari sudah begitu ‘membosankan’.
Adagium keliru yang menyatakan bahwa bad news is good news masih begitu saja digunakan sebagai pembenaran untuk terus-terusan melakukan cover berlebihan terhadap segala hal terkait terorisme. Kelompok, jaringan, ideologi, hingga aksi terorisme nyaris tidak pernah luput dari bidikan kamera dan framing media. Masalah tentu tidak terletak pada kegigihan awak media dalam memberitakan segala hal terkait terorisme, tetapi pada kecenderungan untuk melakukan glorifikasi terhadap aksi-aksi terorisme, sehingga hal ini berpotensi mengaburkan fakta dan membodohi masyarakat dengan pandangan-pandangan yang sesat.
Berita tentang musuh-musuh negara yang bersembunyi di hutan, dengan gerakan clandestine dan melakukan perang asimetry misalnya, dipandang selalu menarik untuk diberitakan. Alih-alih memberitakan perihal kesalahan dan kejahatan yang dilakukan oleh kelompok teroris, media yang sudah kadung melakukan glorifikasi justru menampilkan berita-berita positif terkait kelompok teroris yang entah sumbernya dari mana.
Beberapa media juga tampak terlalu asyik memberitakan terorisme dengan riasan glamor melalui tema-tema superficial seperti Mayat jenazah teroris yang berbau wangi, daging yang tidak membusuk, muka mayat yang tersenyum, dll. Berita-berita semacam ini dirias sedemikian rupa hingga menjadi santapan utama masyarakat. Imbasnya, masyarakat menjadi simpati terhadap aksi-aksi terorisme dan akhirnya ikut-ikutan memusuhi negara yang dikiranya telah melakukan kedzaliman karena memerangi Muslim. Padahal yang dilakukan negara adalah menjaga ketertiban dan keamanan negri dari ancaman para teroris yang ‘kebetulan’ KTP-nya Muslim.
Ternyata, meski berstatus sebagai kejahatan luar biasa, terorisme adalah ‘good news’ yang nilai beritanya sangat tinggi. Ketika pemberitaan seputar hal-hal baik dan menenangkan dipandang terlalu ‘membosankan’, maka berita-berita yang melibatkan adegan-adegan kekerasan dan hamparan kekejaman digunakan thrill yang menggairahkan dan memberikan getaran-gerataran tersendiri di tengah-tengah masyarakat.
Hal ini tentu tidak bisa dibiarkan, karena berita yang hanya mementingkan rating justru akan membuat suasana menjadi genting. Pemerintah, seperti yang dilakukan oleh BNPT misalnya, telah berulang kali melakukan workshop dan kunjungan (media visit) ke sejumlah media dan para pewartanya dengan tujuan utama untuk menekankan pentingnya memberitakan terorisme secara seimbang dan apa adanya. Masyarakat tidak boleh lagi disilaukan dengan pemberitaan-pemberitaan yang dikemas secara berlebihan dan cenderung asal-asalan. Di sisi lain, masyarakat juga harus cerdas dalam mengkonsumsi berita hasil racikan media, jangan asal percaya. Minimal lakukan tabayyun (konfirmasi) sebelum mempercayai apa yang ada di media.
Semoga bermanfaat.