Ambon – Fenomena terorisme di Indonesia akhir-akhir ini terjadi akibat intervensi pihak luar yang masuk ke dalam negeri melalui media sosial. Propaganda dan doktrin-doktrin kelompok teroris tersebar liar di dunia maya.
“Fenomena terorisme akhir-akhir ini di Indonesia lebih bersifat global karena intervensi dari luar masuk kedalam dan banyak dilakukan melalui media sosial,” kata Kadensus 88 Antiteror Mabes Polri Irjen Marthinus Hukom saat memberikan materi pada sidang jemaat Gereja Protestan Maluku (GPM) Galala – Hative Kecil di Gereja Imanuel, Minggu (29/1/2023), dikutip dari Tribun Ambon.
Untuk mengatasi hal itu, Hukom menyebut diperlukan pendekatan yang bersifat komprehensif. Artinya, seperti pendekatan di ruang media sosial maupun diskusi publik dengan membangun narasi-narasi positif. Narasi positif dimaksud bisa dimulai dengan mengangkat figur-figur yang mempunyai otoritas tertentu.
“Sehingga narasi kekerasan tidak melulu dikuasai oleh doktrin kekerasan yang seakan-akan menjadi satu kebenaran. Sehingga kita harus menghadirkan narasi yang bersifat positif dengan mengangkat figur-figur yang mempunyai otoritas untuk berbicara, mempunyai kemampuan, agama, komunikasi, untuk mengisi ruang-ruang publik agar tidak di monopoli oleh kelompok radikal melalui narasi kekerasan dan kebencian,” papar putra Asli Ambon ini.
Khusus di Maluku, Kepala Detasemen Khusus ( Kadensus ) 88, Irjen Pol. Marthinus Hukom menyebut hubungan Pela dan Gandong dapat berpotensi menangkal fenomena terorisme di Maluku.
“Untuk mewaspadai itu bagaimana kita harus kembali lagi mengingat ada nilai-nilai sosial kapital yang ada di masyarakat Maluku yaitu pela gandong,” kata Marthinus.
Menurutnya, keberadaan Pela dan Gandong merupakan suatu ikatan persaudaraan itu harus direvitalisasi kembali. Artinya, bagaimana masyarakat Maluku dapat memanfaatkan hubungan Pela dan Gandong secara konkret.
“Ada rekonseptualisasi Pela Gandong antara satu negeri dengan negeri lain ini menutup ruang konflik antara dua negeri yang berhubungan pela gandong,” ungkapnya.
Sementara, bagi negeri di Maluku yang belum ada ikatan Pela- Gandong, maka rekonseptualisasinya harus diperluas.
“Menyangkut seluruh negeri harus dibuat semacam irisan supaya negeri satu dengan negeri lain ini terhubung dalam ikatan pela gandong yang lebih besar,” cetusnya.
Karena tanpa disadari, ketahanan masyarakat untuk membedakan mana doktrin melalui media sosial yang negatif atau positif sudah bisa dinilai sendiri.
“Media sosial ini konsekuensi dari perkembangan teknologi dan konsekuensi dari kebebasan sipil demokrasi. Jadi yang harus kita buat adalah bagaimana kita membangun ketahanan masyarakat, mereka harus mampu menilai mana doktrin atau narasi yang negatif atau positif,” tandasnya.(