Telegram Dinilai Jadi Aplikasi Yang Paling Disukai Teroris

Jakarta – Platform media sosial kerap dijadikan sebagai sarang kejahatan siber termasuk aktivitas terorisme. Bahkan aplikasi Telegram dinilai menjadi aplikasi yang paling disukai bagi para teroris dalam melancarkan aksinya seperti menyebarkan propaganda hingga perencanaan aksi teror.

Dalam sebuah diskusi “Mencegah dan Mengatasi Kejahatan Siber di Masa Pandemi”, anggota Satuan Tugas Antiteror Polri, Didik Novi Rahmanto mengungkapkan bahwa Telegram masih menjadi aplikasi pesan instan nomor satu yang kerap digunakan para teroris untuk melakukan aktivitasnya di ruang siber.

Dari segi keamanan, Telegram dinilai lebih aman dari aplikasi lain lantaran tak bisa disadap. Hal tersebut kerap menyulitkan aparat penegak hukum dalam penyelidikan terkait aksi terorisme di Indonesia.

“Itu yang dipilih menjadi pilihan untuk komunikasi dan aktivitas mereka di ruang siber. Memang tingkat keamanan dari masing-masing platform sosial media itu menjadi tolok ukur,” ujar Didik, sebagaimana dikutip voaindonesia, Rabu (12/8).

Menurut Didik, para teroris kerap menyebar ancaman di ruang siber melalui media sosial seperti aksi propaganda, perekrutan, pendanaan, pembentukan paramiliter, pelatihan, penyediaan logistik, perencanaan, pelaksanaan, dan persembunyian. Selain Telegram, platform media sosial yang juga kerap digunakan para teroris yaitu Whatsapp, Facebook, dan Instagram. “Mereka gunakan untuk menyebarkan pemahaman atau kajian yang intinya doktrin dan propaganda,” katanya.

Sementara, Guru Besar Departemen Kriminologi Fisip Universitas Indonesia, Muhammad Mustofa mengatakan tingkat keamanan Telegram yang tak bisa disadap menjadi kendala tersendiri dalam melakukan intersepsi (penyadapan).

“Ini tantangan dari divisi siber polisi yang harus ditingkatkan. Banyak teknologi siber baru yang tidak terdeteksi yang digunakan untuk berkomunikasi,” tutur Mustofa.

Sementara itu dalam catatan satuan tugas antiteror Polri, total penegakan hukum tindak terorisme yang dilakukan Densus 88 Antiteror mulai Januari sampai Agustus 2020 mencapai 132 tersangka di berbagai wilayah di Indonesia.

Skema teror di Indonesia pada umumnya memiliki dua patron yaitu berafiliasi dengan kelompok militan ISIS dan Al-Qaida. Kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD), Jamaah Ansharut Khilafah (JAK), dan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) berafiliasi ke ISIS. Sedangkan Jamaah Islamiyah (JI) berafiliasi ke Al-Qaeda.