Jakarta – Penyebaran Virus Corona atau COVID-19 telah menjadi bencana internasional. Bahkan Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) telah menetapkan virus ini sebagai sebagai pandemi setelah penyebaran virus tersebut sudah meluas ke berbagai negara.
Di Indonesia, dari data terakhir, Rabu (18/3/2020) sore, 225 kasus positif Corona dengan 19 orang meninggal dunia. Karena itu, selain diminta menjaga kesehatan, masyarakat diminta tetap tenang dan jangan panik. Selain itu, masyarakat juga bisa menjaga diri dari berbagai upaya-upaya kelompok tertentu yang akan menjadikan masalah ini sebagai ‘tunggangan’ untuk menimbulkan kegaduhan dan merusak kedamaian di Indonesia.
Sosiolog yang juga Guru Besar Sosiologi Politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Indonesia (UI), Prof. Iwan Gardono Sujatmiko, Ph.D, mengatakan bahwa dalam menghadapi penyebaran virus ini dibutuhkan kewaspadaan seluruh masyarakat, bukan kepanikan. Karena sejatinya virus Corona ini bukanlah azab, tetapi merupakan musibah dan ujian untuk meneguhkan solidaritas, saling membantu dan gotong royong.
“Peneguhan solidaritas harus dilakukan secara berkala melalui media massa dan media sosial berupa penjelasan berbagai lembaga kemasyarakatan dan agama yang ada. Dengan hal tersebut tentu akan meningkatkan solidaritas kebersamaan sebagai bagian dari Bangsa Indonesia dan Warga Negara Indonesia. Saya rasa selama ini belum dilakukan secara optimal,” ujar Iwan Gardono di Jakarta, Rabu (18/3/2020).
Iwan menjelaskan, penyebaran Covid-19 ini perlu ‘aksi penjelasan’ seperti fatwa dan sebagainya dari lembaga resmi semua agama baik Islam, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu. Juga ormas-ormas keagamaan seperti Nahdatul Ulama (NU), Muhamaddiyah dan sebagainya, bersama dengan lembaga kesehatan seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) maupun dari Perguruan Tinggi.
“Upaya itu harus didukung oleh media massa dan media sosial secara berkala yang mengutip dan fokus pada penjelasan-penjelasan atau ayat-ayat Non Azab. ‘Aksi Penjelasan’ ini perlu dilakukan di tingkat pusat, provinsi, kabupaten, kota. Dan cara ini dan dilakukan secara komprehensif dan berkali-kali, maka ‘panggung’ bisa dikuasai oleh penjelasan positif,” terangnya.
Iwan mengatakan, selama ini kewaspadaan agar virus tersebut tidak makin menyebar dan tidak membuat masyarakat menjadi panik sudah dilakukan pemerintah. Namun masih saja ada orang atau kelompok yang memperkeruh suasana dengan membuat berita atau isu negatif, khususnya di media sosial. Untuk itu peran dari organisasi territorial mulai dari RT, RW, Babinsa TNI, Babinkamtibmas Polri harus diaktifkan terutama di daerah yang telah terpapar.
“Mereka dapat berfungsi untuk melacak orang yang telah berinterkasi atau terpapar dengan subyek Covid-19. Selain itu penting juga kader Bela Negara yang berjumlah banyak berperan dalam kasus Covid-19 sehingga dapat terbangun ‘Pagar Betis’ baik di ranah nyata, sosial atau ranah virtual/internet. Dan ini belum dilakukan secara optimal,” ujar alumni Harvard University, Amerika Serikat ini.
Iwan juga mengingatkan pentingnya literasi yang diberikan kepada masyarakat agar tidak mudah termakan isu dari berita hoaks terkait penyebaran virus tersebut. Itu penting untuk membuat masyarakat menjadi tenang. Menurutnya, salah satu cara yang efektif adalah dengan SMS Blast pada semua handphone seperti yang dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang isinya agar menghindari kerumunan dan antar orang berjarak 1 meter.
“Pola ini perlu dilanjutkan dan ditingkatkan dengan pesan-pesan yang tepat. Selain itu perlu acara debat-debat di media massa (TV, Koran) dan media sosial antar pihak yang negatif (hoaks) dengan positif yang merupakan tokoh masyarakat yang dipercayai publik dan ilmuwan.Saya lihat ini juga belum dilakukan secara komprehensif dan berkala,” katanya
Pria yang juga anggota kelompok ahli Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bidang Sosiologi ini mengatakan perlu adanya komunikasi terpusat atau tafsir konstruktif dan tersebar di seluruh Indonesia untuk membangun ketahanan dalam menghadapi masalah virus ini. Terlambatnya Pusat Krisis (Crisis Center) selama lebih dari 1-2 bulan dan tiadanya jurubicara yang tepat untuk memfokuskan dan membingkai (framing) secara positif dan instruktif pada semua lembaga dan warga telah menghasilkan ruang untuk hoaks.
“Jika media massa yang sebenarnya tidak menguasai masalah tentunya nanti akan menghasilkan kekacauan permaknaan dan konstruksi realitas, bila tidak ada jubir yang kapabel dan kompeten,” tandasnya.