Tantangan Negara Eks Super Power dalam Menghadapi Homegrown Terrorism, ISIS dan Radikalis CIS

Besar Bukan Ukuran Keamanan

Persepsi dalam bahasa sehari-hari sering  disamakan maknanya dengan pra anggapan  yang  hasilnya kerap tidak sesuai dengan kenyataan dan harapan. Kadang juga diikuti oleh apriori-apriori tentang nilai-nilai yang dianut, tentang latar belakang, terkaitan pendidikan, dan pengalaman.

Sehingga kerap ukuran besaran, ukuran kekuatan, ukuran fisik dan model tampilan dijadikan tolok ukur berbanding baik untuk  keamanan dan jaminan akan rasa aman. Sangat Jarang orang berpikir dengan cara sebaliknya bahwa fisik yang besar, tampilan sangar  dan tongkrongan kelihatan kekar belum tentu merupakan ukuran kemampuan dalam  menciptakan rasa aman.

Sebagai realitas kekuatan, daya tahan yang sebanding dengan sang pemilik fisik adalah masih bisa terbantahkan. Seekor gajah, contohnya, kala ia sedang makan dan kemudian telinganya kemasukan semut, maka dia akan belingsatan lari sana lari sini. Bahkan, Penulis pernah di youtube, pernah  ada gajah yang sampai guling-guling dan membentur-benturkan kepalanya ke pohon demi binatang kecil yang masuk ke telingannya yang tak mampu diambilnya.  Sebaliknya burung jalak yang kecil, dia bisa bergelayut dan bergantungan di telinga kerbau, sambil memakan kutu kerbau, kerbau dibuatnya merasa aman dan nyaman.

Sehingga bisa dipastikan bahwa asumsi fisik besar dan tampilan yang kokoh tidak bisa dijadikan alat ukur yang berbanding lurus dengan jaminan keamanan dan penciptaan rasa aman.

Menengok Sang di Daya yang  Rentan Terorisme

Dulu kala membayangkan negara Rusia, orang akan membayangkan sebuah negara yang sungguh besar, agung, dan  angker  dengan masyarakat yang tidak bersahabat, penuh intrik  mata-mata, serta kegiatan spionase di mana-mana. Pendatang selalu diawasi dengan penuh rasa curiga.  Itulah sejarah yang telah menjelaskan betapa Leninisme sebagai sebuah ajaran yang mengacu pada sosok Lenin, yang telah melahirkan krisis politik yang parah, ternyata harus ditinggalkan.

Faktor keborosan ekonomi, sistem pembagian kelas sosial, krisis sosial dan budaya telah  memperparah situasi dan stabilitas politik Uni Soviet. Dulu, kreativitas masyarakat merupakan barang tabu dan dilarang pemerintah.  ” Glasnost”  dan “Perestroika” sebagai sebuah sistem yang dicanangkan oleh Presiden Gorbachev telah memicu revolusi sosial yang berdampak sampai ke Eropa Timur.

Negara yang menjadi satu-satunya negara komunis yang pernah menjadi rival abadi Amerika Serikat pada era Perang Dingin dan dianggap terkuat sistem politiknya sejak   berdiri 25 Oktober 1917, dan hanya 3 tahun setelah lahir tepatnya tahun  1920 melalui pemimpinnya Vladimir Lenin telah mampu mengkomuniskan  sebagian besar Eropa Timur dengan konsep Komintern atau Komunis Internasionalnya, akhirnya tumbang. Sebutan Uni Soviet – yang  berarti  “gabungan beberapa negara” itu  sungguhpun telah sukses mengkomuniskan beberapa negara di luar Eropa Timur itu, akhirnya gagal, dan harus membubarkan diri.

Perang dingin tinggal cerita. Uni Soviet runtuh. Sisa pecahan negara tersebut bergabung dalam “commonweath independent states” atau CIS. Kalau mau dilihat dalam konteks kemenangan, maka pemenangnya adalah Amerika Serikat. Perang dingin yang sudah lama berlangsungpun tutup buku. Uni Soviet bubar menjadi Rusia pada 25 Desember 1991.

Penyumbang FTF

Sungguh menarik bahasan tentang Rusia. Sebagai penyumbang Foreign Terrorist Fighter (FTF) terbesar di dunia, maka setiap gerakan sel radikal Rusia atau eks Uni soviet akan menjadi berita yang menarik.  Banyak kasus menjadi viral di sosial media, ada yang berlatar belakang dendam, ada berbasis salafi takfiri, bahkan ada bernuansa cinta atau gabungan di antaranya.

Seperti kasus yang disebut “Varvara Karaulova Case”, kisah seorang mahasiswi dari  Universitas Negeri Moskow, yang baru genap berusia 19 tahun, namun  mendadak hilang dan kemudian didapati sudah berada di Turki ingin bergabung ISIS, hanya karena jatuh cinta terhadap orang yang merekrutnya yang bernama Airat Samatov dengan panggilan sayang Vlad. Setelah menikah secara online dalam upacara virtual iapun berniat bergabung dengan suaminya yang sedang  bertempur bersama ISIS sebagai ˆdan dokter.

Tanggal  4 Juni 2015 otoritas Tukri menangkap Karaulova. Dia tidak sendiri, selain dirinya masih  12 orang Rusia lain yang ditangkap ketika hendak menyeberangi perbatasan selatan Turki-Suriah. Karaulova dideportasi pada 12 Juni 2015.

Serangan Fenomenal

Dalam catatan yang penulis himpun dari mitra di luar, ada beberapa serangan terorisme yang fenomenal terjadi di negara bekas Uni soviet tersebut, di antaranya;  Pada 29 Maret 2010, Mariam Sharipova, seorang wanita yang sangat berani dan nekad telah menjadi pengantin jihad dengan meledakan dirinya di Stasiun Metro Lubyanka, Moskow.

Pada hari dan tanggal yang sama pagi harinya 29 Maret 2010, seorang wanita lainnya juga Janet Abdurakhmanova yang baru berusia 17 tahun juga meledakkan dirinya saat  keluar dari kereta di Stasiun Metro Park Kultury. Ledakan itu setidaknya telah menewaskan 12 orang tidak berdosa.

Pelaku berasal dari Degastan – yatim tanpa ayah – saat  berumur 16 tahun ia  kabur dari rumah, dan menikah setelah berteman dengan Umalat Magomedov, pemuda radikal yang baru berumur 30 tahun. Ia pun menikahinya via online.  Dilihat dari umur Sharipova berusia lebih tua dari Abdurakmanova. Sharipova kala dia meledakkan dirinya di stasiun Lubyanka saat itu dia sudah berumur 28 tahun.

Betapa terencananya serangan itu,  ledakannya saja telah mampu seketika melahap nyawa  24 orang .  Sharipova adalah penduduk Balakhani, sebuah pedesaan di pegunungan yang memang  dikenal sebagai ‘sarang teroris’. Posisi jabatan yang sedang dia emban di pemerintahan tidak menjadi persoalan baginya. Dia tinggalkan begitu saja. Bisa dibayangkan, saat itu ia sedang dipercaya menempati posisi wakil direktur di sebuah sekolah menengah untuk orang Balakhani yang cukup bergengsi.

Dari hasil surveillance dan investigasi mendalam diperoleh informasi bahwa Sharipova memiliki hubungan keluarga dengan para  pelaku teroris. Ia adalah istri dari seorang militan asal Dagestan, Magomedali Vagabov. Bahkan dari informasi lain disebutkan bahwa dia adalah istri dari teroris bernama Dr. Muhammad, juga saudara perempuan Ilyas Sharipov, pelaku teroris yang ditahan pada 2008 atas dakwaan kepemilikan bahan peledak, penculikan, dan memiliki jaringan  teroris.

Selain  Sharipova ada juga serangan lain yang cukup fenomenal, yaitu ledakan yang terjadi  di Bandara Domodedovo tanggal 24 Januari 2011. Ledakan itu berasal  bom rakitan yang  diledakkan oleh pelaku bernama Magomed Yevloyev, yang memang adalah turunan teroris. Betapa tidak, saudara-saudaranya seperti;  Akhmed Yevloyev, Bashir Khamkhoyev, Islam,  Ilez Yandiyev adalah komplotan teroris yang semuanya telah menjalani proses peradilan.

Kasus lain adalah bom bunuh diri tanggal 24 Januari 2011 oleh  Magomed  yevloyep,  pemuda Rusia berusia 20 tahun, berasal dari  Ingushetia. Ia meledakan diri di terminal kedatangan Bandara Domodedovo, Moskow. Persoalannya, ternyata keluarga inipun adalah keluarga teroris. Adiknya, Fatimah Yevloyev, menikah dengan seorang teroris bernama Bekkhan Bogatyrev, yang berhasil ditekuk oleh FSB pada tahun 2010. Orang tua Yevloyev menjelaskan bahwa anak laki-lakinya pergi meninggalkan rumah persis dua minggu setelah kematian Bogatyrev. Mereka berpamitan untuk  bekerja dan mencari pekerjaan padahal menurut rekannya sebenarnya dia bergabung dengan kelompok teroris.

Hal yang lebih mencengangkan terungkap bahwa mereka telah dan pernah mengikuti wajib militer dan melayani Angkatan Laut Rusia di Vladivostok, dan  terpaksa keluar karena menderita ulkus peptikum kerusakan lapisan mukosa, submukosa sampai lapisan otot saluran cerna yang disebabkan oleh aktivitas pepsin dan asam lambung yang berlebihan. Dan beberapa media saat itu mengungkapkan bahwa motif ledakan yang dilakukan Yevloyev lebih didorong oleh rasa dendam atas kematian suami adiknya.

Ada juga kasus yang dikenal dengan kasus “Naida Asiyalova”, yakni sebuah kasus ledakan bus di Volgograd pada tanggal 21 Oktober 2013 yang menewaskan delapan orang. Pelaku membawa alat peledak yang dibuat oleh suaminya sendiri, Dmitry Sokolov, seorang muallaf yang dikenalnya saat mengikuti kursus Bahasa Arab. Setelah berkenalan dan merasa cocok, keduanya pindah ke Dagestan. Di sana, Sokolov mulai membuat alat-alat peledak untuk para militan. Sokolov pun tewas di tangan FSB tak lama setelah ledakan.

Sungguh sangat tidak masuk akal dan logika dalam Islam, bahwa untuk melancarkan serangannya, Asiyalova memutuskan hubungan silahturahminya dengan seluruh keluarga.   Hal ini dia lakukan tidak saja untuk menjaga kerahasian, namun juga karena dia telah putus asa menderita penyakit parah yang mengakibatkan tulang rahangnya menjadi rusak. Berbagai upaya sebetulnya telahpun dia lakukan, di antaranya dengan aksi sosial  penggalangan dana yang dikampenyekan lewat sosmed VKontakte, guna membantu pengobatannya. Namun, tetap saja dia gagal. Pengamat banyak menilai bahwa kasus ini lebih karena keputusasaan.

Ada juga ledakan  yang membuat masyarakat dunia dan khususnya warga Korea Selatan terhenyak, yang  terjadi di stasiun kereta api dan bus Trem di Volgograd dua hari berturut- turut, yakni tanggal 29 dan 30 Desember 2013 . Pelakunya adalah Asker Samedov dan Magomed Isayev. Polisi mencoba menganalisa dan menyimpulkan bahwa Asker Samedov secara psikologik  memiliki problem kasih sayang orang tua. Dia terpisah dengan orang tuanya. Ibunya tinggal di Moskow sementara dia dibesarkan oleh bibinya yang tinggal di Dasgestan.

Setelah lulus sekolah, Samedov masuk ke akademi kedokteran. Namun pada tahun kedua, ia keluar dari kampus karena bergabung dalam aktivitas masjid wahabi. Menurut bibinya, ia menghilang pada 30 Mei 2013, dan pada Desember 2013  ia dan rekannya Suleiman Magomedov melancarkan serangan bom di Volgograd yang menewaskan 25 orang. Sementara, media tak banyak memberikan informasi terkait Magomedov yang meledakkan dirinya di bus sehari setelah ledakan di stasiun kereta selain fakta bahwa Magomedov adalah bagian dari kelompok teroris Buynaksk.

Serangan, demi serangan lain juga terjadi di pusat keramaian di Metro Saint Peterburg pada tanggal 3 April 2017. Aksi ini dilakukan oleh Akbarjon Djalilov yang baru berumur 22 tahun. Kelahiran Kirgizstan dan menjadi Warga Negara Rusia setelah ia pindah ke Saint Peterburg pada tahun 2011. Namun Ia juga tidak seberuntung temannya yang bisa melanjutkan sekolah dengan baik, ia meninggalkan bangku pendidikan di kelas VIII.

Begitupula untuk urusan pekerjaan – dia tidak terbilang sukses – walau dia  pernah bekerja di sebuah bengkel mobil, namun sering  berpindah kepekerjaan serabutan. Pernah pula ia pindah ke sebuah bar sushi. Walau mengaku muslim , keluarganya bukanlah  muslim yang taat, dan terbukti dia hanya sesekali menjalankan ibadah salat yang sehausnya dia kerjakan 5 waktu sehari.

Kelompok Radikal Dominan di Rusia

1) Chechnya

Dalam sebuah dialog santai, penulis bertanya yang paling menonjol melakukan serangan selama ini kelompok mana? Setiap pertanyaan hampir dijawab sama, yaitu;  Kelompok Chechnya dan ISIS. Ya memang, bahwa sejak abad ke-19  kebencian terhadap kelompok radikal  chechnya  nampaknya begitu membara. Bukan tidak masuk akal, betapa misalnya pada tahun 2002, betapa  militan Chechnya dengan ganas  menyerang sebuah teater di Moskow. Mereka berhasil  menyandera ratusan orang dalam gedung kesenian  dan menewaskan setidaknya 130 orang. Dua tahun kemudian, separatis itu kembali beraksi, membombardir sebuah stasiun bawah tanah di Moskow dan menewaskan sedikitnya 39 orang.

Di tahun yang sama, kelompok separatis Chechnya menculik ratusan pelajar di sebuah sekolah di Beslan. Kremlin terpaksa menggunakan tank untuk membebaskan para sandera yang telah disekap selama berhari-hari itu. Insiden itu memakan korban jiwa setidaknya 300 orang.

2) Kelompok radikal  Doku Umarov.

Kelompok ini bukanlah kelompok yang sangat besar. Mereka bergerak dalam sekala kecil namun efektif. Betapa tidak? Kelompok inilah yang pernah meluncurkan serangan bom bunuh diri pada sebuah kereta berkecepatan tinggi antara St Petersburg dan Moskow.  Untuk menjaga strategi perang Asimetrik dan menjaga  eksistensi demi pengakuan masyarakat Rusia, mereka juga  terang-terangan mengaku bahwa  otak dibalik serangan di Bandara Domodedovo, Moskow, yang  menewaskan 37 orang pada tahun 2011 yang lalu adalah dari kelompok mereka.

3) Lalu bagaimana dengan keberadaan  ISIS ?

Mereka  mengincar Rusia secara spesifik pada tahun 2015, yaitu ketika 6000an  pengikut Al Baghdadi itu mulai mengintervensi perang Suriah. Mereka mengklaim bertanggung jawab atas sejumlah serangan teror di berbagai penjuru dunia, meski tidak semuanya dapat dibuktikan secara langsung. Pasa bulan Juni 2015, mereka mengumumkan pembentukan sebuah provinsi di wilayah Kaukasus Rusia yang mereka sebut “walayat al kaukasus”. Klaim serangan ISIS yang pertama terjadi pada September 2015. ISIS mengincar barak militer di Dagestan selatan.

Beberapa bulan setelah itu seorang pria bersenjata di situs budaya Benteng Derbent di Dagestan menyerang masyarakat. Peristiwa yang sempat  menewaskan satu orang dan melukai 11 lain itu diklaim oleh ISIS. Pada Oktober 2015, ISIS meledakan pesawat Rusia yang membawa ratusan penumpang dalam perjalan pulang dari Sinai, Mesir menuju St Petersburg. Insiden itu tercatat telah menewaskan 224 orang.

Selanjutnya, pada Februari 2016, ISIS kembali meluncurkan aksi bom bunuh diri di sebuah pos pemeriksaan di Dagestan. Satu bulan setelahnya, kelompok itu juga melakukan dua serangan lain yang mengincar militer Rusia di sana.

4) Foreign Terrorist Fighter

Kembali setelah kekalahan. Memang ISIS telah diindikasikan kalah. Apa teror di Rusia berhenti? Jawabnya ” tidak “. Di tengah kekalahannya ISIS dan sejumlah pejuangnya diindikasikan mencoba kembali ke Rusia dan negara-negara lain tempat mereka berasal. Maka sangatlah diyakini bahwa  penyebaran ajaran radikalisme akan bergolak  di negeri sendiri. Walau sementara jejaring itu diam dan hibernasi, namu n ketika para mantan pejuang ISIS sudah  sampai di tanah air sungguh mereka bisa melakukan re-radikalisasi.

Ada berapa hal yang terjadi Pasca kekalahan ISIS, di antaranya:

Pertama ; terjadi gelombang besar kembalinya mantan pejuang yang bergabung dengan ISIS di Iraq dan Syria melalaui mekanisme defortees Kedua; pengembalian besar atas dasar pertimbangan tidak mungkin bertahan di sana dengan mekanisme returnees.

Ketiga; kembali tetapi tidak ketempat asal melainkan ke negara ketiga  dengan yang disebut Relocated.

Persoalan setelah kembali juga terjadi beberapa hal, di antaranya adalah bangkitnya kembali sel-sel tidur yang selama kejayaan ISIS mereka tiarap, terbangunnya sel-sel baru selama alumni ISIS. Hal ini pernah terjadi pada al Qaedah di mana sel-sel eks Afganistan membangun sel baru yang jauh lebih ganas.

Sehingga yang harus dilakukan oleh Negara agar tidak menjadi seperti Rusia dan CIS adalah meningkatkan kelihatan Preventif justice dengan memonitor jaringan dan melakukan penegakan hukum dengan efektif, meningkatkan kapasitas kerja kerja pendekatan lunak deradikalisasi. Kontraradikalisasi,mengefektifkan kerja-kerja forum kemasyarakatan yang dimiliki BnptBNPT memaksimalkan dan mengefektifkan penggunaan pesantren yang dipimpin oleh para eks terorist insider, serta menggalang memaksimalkan upaya upaya rekonsiliasi korban terrorist dan mantan pelaku.

Semoga Indonesia senantiasa berjaya.