Tantangan Islam Moderat Menghadapi Perubahan Politik Global

Depok – Tantangan dunia Islam di tahun 2018 akan semakin beragam terutama tantangan keberagamaan. Indonesia mempunyai ratusan suku, bahasa dan agama yang berbeda mempunyai keunikan tersendiri jika dibandingkan dengan negara-negara lainya. Keberagaman yang terikat menjadi satu dalam Ideologi Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika telah mampu membawa kemaslahatan bagi rakyat dan bangsa Indonesia. Tentu ada banyak kekurangan yang harus dibenahi terkhusus dalam persoalan keberagamaan dan itu menjadi tantangan tersendiri bagi bangsa Indonesia.

Sekjen ICIS Ir. Salahuddin Wahid yang juga Pengasuh Ponpes Tebuireng Jombang. Selaku perwakilan ICIS Mengungkapkan bahwa persoalan paham radikalisme telah memporak porandakan banyak negara di Timur Tengah, oleh karenanya ICIS bersama dengan semua elemen bangsa bergerak untuk dapat berkontribusi dalam upaya membentengi bangsa Indonesia dari pengaruh buruk paham radikal dan terorisme.

Lebih jauh pengasuh Ponpes Tebuireng ini menyoroti isu-isu global yang juga turut serta membuat kekacauan di dunia, terutama karena sebagian kelompok selalu mengatasnamakan Islam sebagai justifikasi pembenaran tindakannya.

Arab sendiri saat dibawah kepemimpinan putra mahkotnya membuat banyak sekali perubahan, bahkan baru-baru ini mengeluarkan kebijakan untuk memberangus pengaruh Ikhwanul muslimin di dunia pendidikan yang ditenggarai menjadi sumber kekakuan dan kejumudan Saudi Arabia dalam menginterpretasikan pemahaman agama yang sebetulnya sangat luwes dalam menyikapi berbagai persoalan.

“Bangsa Arab harus kembali ke 1979 dimana pada masa itu bangsa arab menganut Islam Wasathiyah (moderat)” seperti di kutip oleh KH. Salahuddin Wahid dalam sambutanya.

Lebih lanjut kiai solahuddin mengutip pernyataan Ulama Irak, Dr. Munir yang berkata “Anak-anak muda muslim harus diberikan pelajaran wasathaniyyah (moderat) dan menjauhi sifat radikal dan ekstrim karena sifat tersebut akan menghancurkan sebuah negara. Irak telah menjadi bukti bagaiamana ideologi radikal telah membuat kehancuran bukan saja keberagamaanya, namun ekonomi, pemerintahan dan bahkan kehancurab pada semua aspek. ISIS yang katanya menjanjikan kedamaian ala Islam ternyata tidak lebih dari sekelompok teroris yang mengatasnaman Islam untuk meraih kepentinganya, ISIS sama sekali tidak mencerminkan Islam karena kelompok tersebut adalah teroris”.

Selain sambutan dari KH. Salahuddin Wahid, hadir sebagai pembicara dalam Seminar Internasional Dalam Rangka Haul Ke 1 Almarhum KH. Ahmad Hasyim Muzadi. Brigjen Hamli. SE Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Dalam papaanya Brigjen Hamli mengungkapkan bahwa tantangan global kedepan tidak dapat dipisahkan dengan beberapa kejadian pada masa lampau.

Brigjen Hamli menuturkan bahwa keruntuhan pemerintahan Ottoman yang menyebabkan terpecahnya beberapa negara arab menjadi beberapa bagian menimbulkan juga pergesekan pemahaman pemikiran yang kemudian dimanfaatkan oleh orang-orang untuk kemudian mengorganisir kekuatan yang menjelma dalam ideologi radikal.

Orang-orang Indonesia yang berangkat ke Afganistan mempercayai hingga saat ini, mereka ke Afganistan adalah untuk berjihad membantu kaum muslim yang tertindas, namun tanpa disadari justru mereka diperalat oleh kelompok barat untuk berperang melawan Rusia.

“Isu komunisme di munculkan oleh barat, agar orang-orang Islam yang berangkat ke Afganistan seolah-olah melawan Rusia yang komunisme, namun sejatinya mereka tidak paham berperang demi apa, hingga saat ini, mereka masih percaya berangkat ke Afganistan adalah untuk berjihad, jadi kalau sekarang ada isu komunisme mungkin saja ada atau tidak, mari kita cari bersama – sama”. Ungkapnya dihadapan peserta seminar di Pondok Pesantren Al – Hikam Depok, Sabtu (24/03/2019).

Lebih lanjut Direktur Pencegahan BNPT ini menerangkan bahwa organisasi kelompok radikal seperti, Mujahidin Indonesia Timur (MIT), Jamaah Islamiyah (JI), Jamaah Ansarud Daulah (JAD) merupakan imbas dari berbagai propaganda yang dijalankan oleh kelompok radikal teroris di Timur Tengah yang kemudian diadopsi oleh orang-orang radikal di Indonesia.

Diakhir paparanya Hamli meminta agar semua pihak saling bersinergi dalam upaya membendung kelompok radikal yang telah mulai memasuki semua ranah kehidupan, Hamli juga mengapresiasi langkah-langkah yang dilakukan oleh ICIS untuk terus memberikan sumbangsih kepada bangsa dalam upaya menciptakan perdamaian sesuai dengan nilai-nilai agama yaitu Rahmatan Lil’alamin.