Entah untuk kali ke sekian, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menggelar kegiatan bersama masyarakat. Masyarakat memang menjadi kunci utama bagi lembaga negara satu ini untuk menjalankan program-programnya. Di sisi lain masyarakat juga menjadi tolak ukur keberhasilan BNPT.
Dalam konteks seperti itu, ungkapan ‘tanpa peran serta masyarakat BNPT bukan apa-apa’ bukanlah hisapan Jempol atau kata basa-basi. Kata itu lahir dari sebuah kesadaran bahwa upaya penanggulangan paham radikalisme dan aksi terorisme tidak pernah bisa maksimal tanpa peran serta masyarakat. Dengan kata lain, pada hakikatnya masyarakat menjadi ujung tombak aktifitas BNPT.
Sejak berdirinya BNPT sudah tak terhitung berapa kali lembaga negara ini menjalin kerjasama dengan sejumlah elemen masyarakat. Mulai dari ulama, santri, pelajar, tokoh agama, tokoh masyarakat, pemuda, dan elemen masyarakat lain pernah membantu BNPT menjalankan program-program nasionalnya. Belum lagi elemen-elemen masyarakat yang tergabung dalam berbagai ormas, baik yang bersifat keagamaan atapun kepemudaan, semua pernah bersama BNPT menanggulangi terorisme.
Aksi terorisme dan paham radikalisme saat ini memang sudah pada taraf mengkhawatirkan. Bahayanya terus mengintai kedaulatan negara dan keselamatan warga negara. Dampak langsung ulah para ekstrimis itu bisa menciptakan ketakutan luar biasa di tengah masyarakat. Dari sisi rekrutmen misalnya, tak sedikit orang tua yang mulai ‘ketakutan’ anaknya terjerumus dalam paham dan aksi radikalisme dan terorisme.
Kekhawatiran para orang tua dan juga tokoh masyarakat atas pengaruh paham dan aksi radikalisme terorisme sesungguhnya sangat masuk akal. Mengingat saat ini, propaganda kekerasan dan radikalisme agama marak dikampanyekan lewat media maya, termasuk media online maupun media sosial.
Sementara itu berdasarkan data dari Asosiasi Pengguna Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tahun ini (2015) usia antara 15 sampai 25 tahun menempati urutan pertama pengakses internet. Jika dikonversi ke dalam angka pengguna layanan internet di kalangan siswa dan mahasiswa mencapai 49% dari total pengguna yang mencapai 140 juta. Itu artinya, sekitar 70 juta pengguna internet adalah anak muda. Itu belum termasuk kaum muda ‘setengah tua’ yang berumur antara 25 sampai 35 tahun. Jika digabungkan tentu akan lebih banyak lagi.
Yang lebih mengejutkan dalam data riset lain yang dikeluarkan Surya University, ternyata mayoritas anak muda yang mengakses internet itu ‘menelan’ mentah-mentah informasi yang didapat dari dunia maya. Masalahnya adalah ketika mereka mencari informasi tentang hal yang berkaitan dengan terma keagamaan. Mereka akan mengambil tanpa bersikap kritis atas informasi yang didapat. Padahal di sisi lain, dunia maya sudah disesaki oleh pemahaman radikal terorisme. Bayangkan jika fenomena ini dibiarkan dan tidak diantisipasi secara bersama.
Nah, menyikapi keluhan-keluhan masyarakat seperti itulah BNPT kemudian mencanangkan program “Tahun Damai Dunia Maya”. Program ini ingin mengajak masyarakat untuk turut waspada atas bahaya dan bencana yang bakal ditimbulkan akibat propaganda radikalisme dunia maya. Dan sekali lagi, program-program seperti ini tidak mungkin berhasil jika hanya dilakukan oleh BNPT. Karena sesungguhnya ancaman dan bahaya radikalisme terorisme adalah ancaman nasional dan karenanya menjadi tanggung jawab bersama.
Seperti aktifitas BNPT di minggu ini, di Kedeputian 1 BNPT menggelar sejumlah kegiatan yang melibatkan sejumlah elemen masyarakat. Di Surabaya dan Palu, dalam Forum Komunikasi Penanggulangan Terorisme (FKPT), pada kemarin (Rabu, 29/7/2015) dan besok (Jumat, 31/7/2015), digelar kegiatan pemberdayaan dan sosialisasi tahun damai dunia maya untuk menyemai kedamaian di internet bersama sejumlah praktisi media Online dan wartawan se-Jawa Timur. Demikian pula di Makassar, dengan ujung tombaknya para mahasiswa dan aktifis dunia maya. Demikian pula dengan di Palu Sulawesi Tengah yang melibatkan peran serta guru-guru agama dan para pelajar. Ke depan pasti masih akan banyak lagi. Bersama Cegah Terorisme!