Jakarta – Bahaya paham radikal terorisme yang terus menyebar di kalangan masyarakat Indonesia menjadi perhatian serius Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Apalagi hampir semua lapisan jenjang pendidikan saat ini sudah terpapar paham radikal terorisme, mulai dari tingkat sekolah dasar hingga penguruan tinggi.
Dalam upaya mencegah paham radikal terorisme, Kepala BNPT Komjen Pol. Drs. Suhardi Alius, MH, menemui Majelis Pengurus Pusat Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang dipimpin Prof Dr. Jimly Asshiddqie,SH, untuk membicarakan fonomena terorisme yang ada di Indonesia, terutama yang saat ini sudah menyebar di kalangan akademisi. Pertemuan tersebut digelar di kantor pusat ICMI, Jl. Proklamasi No.53, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (2/9/2016).
Dalam pertemuan dengan ICMI tersebut Kepala BNPT telah menginformasikan dengan data yang dimiliki bahwa begitu serius masalah radikalisme terorisme di Indonesia ini. Karena sekarang ini dengan teknologi informasi yang begitu tinggi dan perkembangannya yang sangat masif, paham radikal terorisme sudah mulai masuk ke berbagai ruang atau lingkungan keluarga untuk mempengaruhinya.
“Saya sampaikan bahwa hasil penelitian yang dilakukan selama ini bahwa masalah radikal terorisme ini adalah masalah bangsa, apalagi yang namanya globalisasi yang mereduksi nilai-nilai nasionalisme kita. Di tengah jati diri yang diuji, masuklah paham-paham radikal, baik itu di lingkungan pendidikan dan juga keluarga. Ini yang sangat rentan,” ujar Kepala BNPT Komjen Pol. Drs. Suhardi Alius, MH di acara pertemuan tersebut.
Dikatakan Kepala BNPT, dari data-data yang dimilikinya siapa pihak-pihak yang mengarah radikal kalau tidak diantisipasi dengan baik sejak saat ini akan bisa terbayang dengan apa yang akan terjadi di negara ini nantinya apalagi dengan kemajemukan yang dimiliki bangsa ini..
“Kita merangkul semua pihak untuk mencari fomula yang pas dalam upaya menanggulangi pihak-pihak yang sudah terpapar dan mencegah untuk pihak-pihak yang belum terpapar paham radikal terorisme. Karena kita tidak bisa bekerja sendirian dalam menghadapi masalah ini,” ujar pria mantan Kabareskrim dan Kapolda Jawa Barat ini.
Menurut pria yang pernah menjabat sebagai Kepala Divisi Humas Mabes Polri ini, BNPT didirikan untuk mengkoordinasikan tugas pokok dalam upaya penanggulangan terorisme, maka dari itu BNPT pun merangkul semua golongan dalam upaya untuk menanggulangi penyebaran paham radikal terorisme di masyarakat.
“Kita datang ke Majelis Ulama (MUI ), Nahdatul Ulama (NU), Muhamadiyah, ormas besar islam lainnya, ke tokoh lintas agama dan sebagainya. Semua sudah kita datangi satu persatu untuk mendapatkan masukan-masukan. Karena ini dalam konteks kemajemukan yang kita miliki, nasionalisme. Kita memberikan pencerahan,” ujar alumni Akpol 1985 ini.
Dijelaskan mantan Sekretaris Utama Lembaga Ketahanan Nasional (Sestama Lemhanas) ini, pihaknya selama ini juga menggunakan metode turun ke lapangan untuk memberikan pencerahan deradikalisasi, tetapi kami tidak sendirian. Pihaknya juga menggunakan para pakar, akademisi, para ulama dan juga para kombatan (mantan teroris) untuk melakukan program deradikalisasi tersebut.
“Kenapa kami juga gunakan mantan kombatan, karena mereka lebih punya pengaruh kalau berbicara langsung dan menjelaskan kepada masyarakat luas. Mereka untuk menetralisir itu semua, dan ini pekerjaaan besar. Dengan hebatnya teknologi informasi sekarang ini, semua akan terpapar disitu,” ujarnya.
Karena menurutnya, sekarang ini bukan hanya di kalangan pendidikan tinggi saja yang terpapar paham tersebut, di jenjang Sekolah Dasar pun juga sudah mulai terpapar paham radikalisme. Bahkan Wapres Jusuf Kalla pun juga mengatakan bahwa kekerasan saat ini sudah dipimpin oleh media sosial.
“Sinyalemen itu betul. Tidak ada lagi ruang atau sekat-sekat yang sekarang bisa menyebar ke anak-cucu kita. Kalau sudah seperti itu mau jadi apa kedepannya nanti. Nah ini kan kepedulian,” ujar mantan Kapolres Metro Jakarta Barat dan Depok ini menjelaskan .
Untuk itu Kepala BNPT mengatakan bahwa kepedulian orang tua, kepedulian guru, kepedulian dosen itu harus ada. “Ketika sudah ada lalu melihat tindak-tanduk yang tidak lazim misalnya anak sudah memisahkan diri, menyendiri, membentuk kelompok ekslusif, tidak tersentuh, itu sudah tanda-tandanya. Segera laporkan kalau menemukan seperti itu,” ujarnya.
Dirinya memberikan contoh seperti kasus yang terjadi di Medan kemarin, dimana sang pelaku sudah menutup diri terhadap lingkungannya. Jadi ada tahapan-tahapan yang kita harus cermat mengamatinya.
“Jangan sampai tidak care terhadap lingkungan kita, baik terhadap orang tua dirumah, guru atau dosen dilingkungan pendidikannya. Seperti pengajian-pengajian di lingkungan perguruan tinggi. Yang masuk dan ikut itu tidak hanya dari dalam lingkungan perguruan tinggi, tetapi banyak juga yang dari luar lingkungan perguruan tinggi juga ikut masuk di lingkungan tersebut. Ini yang namanya infiltrasi,” katanya mengakhiri.
Sementara itu Ketua Umum ICMI, Prof Dr. Jimly Asshiddqie,SH, mengatakan bahwa ICMI akan membantu BNPT dalam mengatasi radikalisme dan teterorisme yang saat ini sudah mengarah kepada kalangan akademisi.
“Kita membicarakan fonomena yang terjadi di dunia kampus kita. Jadi sekarang ini radikalisme sudah berkembang, bukan hanya di tingkat grassroot saja seperti dikalangan orang miskin, terbelakang dan sebagainya yang selama ini diasumsikan, tetapi sekarang ini sudah melibatkan orang-orang yang berpendidikan tinggi,” ujar Jimly Asshiddqie
Menurut Jimly, sekarang ini sudah banyak orang yang bergelar Doktor, Profesor sudah terpengaruh paham radikal terorisme. Dirinya mencontohkan seorang dokter yang di Kalimantan beberapa waktu lalu yang diduga bergabung dengan kelompok radikal. “Jadi metode brainwash yang dilakukan kelompok teroris ini ternyata efektif, dan itu merebak kemana-mana,” ujarnya.
Bahkan di kampus sekarang ini menurutnya sudah mulai kemasukan seperti dengan gerakan dengan mengataskanaman pengajian mahasiswa, pengajian dosen. “Baru sebulan ngaji celananya sudah cingkrang, dalam artian cingkrang yang ektrim bagi mereka sudah terpapar radikalisme, ini yang sangat dikhawatirkan. Jadi inilah yang kita bahas,” ujarnya.
Dikatakannya, pihaknya juga sampai terkaget-kaget dengan data-data yang dibawa Kepala BNPT. Pihaknya selama ini sebenarnya sudah tahu ada gelombang yang harus diatasi di lingkungan perguruan tinggi ternyata ini lebih gawat lagi.
“Bukan hanya di perguruan tinggi, tetapi juga di lingkungan sekolah. Bahkan di anak-anak jenjang Sekolah Dasar pun sudah mulai terpengaruh Media Sosial ini sudah sangat membahayakan,” kata pria yang pernah menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi ini menjelaskan
Oleh karena itu ICMI menurutnya, tidak hanya berpikir tentang kelas kaum intelektuail atau para sarjana di kampus. Tetapi kita juga punya program untuk anak SMA. Intinya ICMI bersepakat dengan BNPT untuk melakukan partnership. Dan BNPT sendiri sudah melakukan dengan semua kalangan.
“Kita mengpresiasi dengan apa yang sudah dilakukan BNPT dengan memperluas parnership dengan kesadaran bahwa mengatasi radikal terorisme tidak bisa sendirian. Kita mesti bareng-bareng. Karena peradaban Indonesia yang sudah maju ini tidak bisa ditopang dengan unsur kekerasan,” katanya.
Dan ICMI menyadari bahwa masalah ini adalah masalah yang sangat serius, harus bersama-sama dengan kekuatan islam moderat dan semua kekuatan moderat kebangsaan untuk mendukung upaya ini, bukan hanya mendukung BNPT, tetapi ini membantu Indonesia supaya maju.
“Kita tidak bisa maju kalau memelihara kekerasan. Budaya kekerasan yang selama ini ada ya harus dihilangkan dari budaya kerja Indonesia. Untuk itu ICMI akan membantu BNPT dalam mengatasi radikalisme terorisme dengan menggerakkan roda deradikalisasi dan kontra radikalisasi,” katanya mengakhiri.
Dalam pertemuan tersebut Kepala BNPT didampingi Deputi I BNPT bidang Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi, Mayjen TNI Abdul Rahman Kadir dan Direktur Pencegahan Brigjen Pol. Drs. Hamidin. Sementara pengurus ICMI yang ikut serta dalam pertemuan tersebut yakni Wakil Ketua Umum ICMI Drs, Priyo Budi Santoso, MAP, DR. Sri Astuti Buchori, M.Si dan Sekjen ICMI DR. Ir. Muhammad Jafar Hafsah.