Klaten – Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sebagai lembaga negara yang diamanatkan menangani terorisme, memandang penting aspek pencegahan yang bersifat lunak dalam upaya mewaspadai berkembangnya paham radikalisme dan terorisme. Hal tersebut dikarenakan paham radikalisme dan terorisme telah membajak keyakinan agama di masyarakat terutama di kalangan generasi muda.
Metode pendekatan soft approach telah dilakukan BNPT dalam bentuk seperti kegiatan dialog dan pendekatan lainnya, seperti Bedah Buku. Metode tersebut ternyata efektif dalam meningkatkan daya tangkal masyarakat untuk menolak ajaran dan ajakan kekerasan.
Oleh karena itu BNPT melalui Subdit Kewaspadaan pada Direktorat Pencegahan, Kedeputian I BNPT dalam rangka mengisi bulan suci ramadan ini melaksanakan kegiatan Dialog & Bedah Buku dengan judul “Mudah Mengkafirkan: Akar Masalah, Bahaya, & Terapinya”. Bedah buku tersebut akan dilaksanakan di Hotel Grand Tjokro, Klaten, Jawa Tengah pada Minggu (26/6/2016) petang nanti.
Kegiatan Bedah Dialog & Bedah Buku yang dilaksanakan pada bulan Ramadan merupakan salah satu upaya strategis dan ilmah mewaspadai radikalisme sebagai bagian dari upaya-upaya pencegahan terorisme di Klaten, Jawa Tengah. Acara ini akan dihadiri tidak kurang dari 100 peserta yang terdiri dari berbagai kelompok masyarakat dan juga mantan narapidana kasus terorisme
“Bulan suci ramadan merupakan momentum yang baik untuk mempererat silatrurrahmi di kalangan umat Islam khususnya, dan rasa persaudaraan kebangsaaan. Hal tersebut didasari perlunya pendekatan-pendekatan yang lebih menekankan pada pendekatan humanis dalam menjalankan ketentuan agama serta menghilangkan unsur kekerasan dalam ekpresi keyakinan,” ujar Kasubdit Kewaspadaan BNPT Dr. Hj. Andi Intang Dulung, M.H.I ditemui di lokasi acara.
Menurutnya, terorisme yang marak terjadi dengan latar belakang ideologi tertentu, berawal dari intoleransi yang kemudian mengalami radikalisasi hingga berujung pada aksi bom bunuh diri, pembunuhan, dan kekerasan lainnya. Permisifitas kepada intoleransi (lesser threat) membuka ruang lebar mobilisasi radikalisme gerakan ekstrem yang pada gilirannya berujung pada aksi terorisme (bigger threat).
“Pada prinsipnya mereka tidak bisa menerima perbedaan, merasa paling benar sendiri, serta menyalahkan semua hal dan orang lain di luar dirinya, kelompoknya, dan keyakinannya, bahkan dengan mudah mengkafirkan untuk membenarkan kesalahan pandangan mereka tentang jihad yang sarat kekerasan dalam situasi damai,” katanya.
Seperti diketahui bahwa buku “Mudah Mengkafirkan: Akar Masalah, Bahaya, & Terapinya” adalah terjemahan dari artikel Syaikh Athiyatullah Al-Libi alias Abu Abdurrahman Jamal bin Ibrahim Asy-Syitwi Al-Misrati yang berjudul Jawabu Su’al Jihad Ad-Daf’i, yang secara harfiah berarti Jawaban Atas Pertanyaan Tentang Jihad Defensif.
Artikel tersebut membahas fenomena kecenderungan mudah mengkafirkan sesama tanpa mengindahkan kaedah-kaedah sesuai ketentuan, oleh individu dan kelompok tertentu. Begitu mudahnya individu dan kelompok itu mengkafirkan sesama telah memberikan dampak yang teramat buruk, tidak saja kepada aspek dakwah, namun juga kepada pemaknaan jihad yang sebenarnya. Individu atau kelompok yang gegabah mengkafirkan sesama ini kemudian dikenal dengan kelompok takfiri.
Di Indonesia, kelompok takfiri ini menyebar di berbagai kalangan dalam perjalanan bangsa di berbagai era dan zaman. Secara historis, pasca-kemerdekaan dimulai dari gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) sampai dengan Jama’ah Islamiyah (JI) beserta turunannya. Kelompok inilah secara konsisten merongrong Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945.