Radikalisme menyebar sangat cepat menggerogoti jantung ideologi dan sel otak kebangsaan generasi muda di seluruh lini kehidupan dan segenap level pendidikan. Masyarakat kampus memiliki ciri berpikir yang radikal, kritis, konstruktif, akomodatif, holistik, objektif bukan subjektif, sistematis bukan sembrono dan universal bukan parsial. Bentuk radikal itulah yang harus dimiliki seorang mahasiswa, dosen atau pimpinan dalam sebuah universitas atau institusi.
Radikal – radix berarti berpikir yang tuntas hingga ke akar permasalahan agar dapat maju, inovatif kreatif dan selalu menjadi bagian dari solusi permasalahan dan bukan menjadi bagian dari persoalan. Cara berpikir dan kiat bertindak radikal seperti itulah yang harus dilakoni dan disutradarai seorang generasi muda terutama di dunia kampus agar setiap mahasiswa, dosen dan peneliti terus berinovasi melahirkan temuan baru dalam banyak lapangan dan aspek kehidupan, terus membenahi diri menghadapi banyak tantangan di tengah arus informasi dalam era globalisasi pada masa milenial.
Radikalisme yang tumbuh subur dalam dunia akademik banyak ditemukan dari berbagai lembaga penelitian di antaranya Wahid Foundation, Maarif Institut dan yang terbaru adalah Alfarah Research Center yang meneliti 1.800 orang mahasiswa dan 2.400 orang siswa. Solusi temuan banyak lembaga penelitian secara sinergitas menjadi tanggung jawab segenap masyarakat dan semua lapisan komponen bangsa. Di antaranya kampanye ‘Kampus Bersih Radikalisme’.
KBR (Kampus Bersih Radikalisme) menjadi tanggung jawab segenap civitas akademika untuk tidak memberi ruang bagi oknum menyusup masuk ke dalam kampus dengan membawa paham radikal anarkis melalui pemikiran, ide, gagasan para penghuni kampus dengan menggunakan bahasa, interpretasi dan simbol keagamaan. Bentuk kongkrit KBR adalah menghidupkan semangat civitas akademika untuk memperbanyak tulisan kontra narasi dan/atau narasi alternatif. Narasi instan yang akurasinya masih dipertanyakan banyak mengandung badai yang dapat menghanyutkan kalangan pemuda dan mahasiswa. Narasi moderat yang toleran, akomodatif dan akulturatif wajib disuguhkan kepada semua civitas akademika agar narasi instan tidak merusak sel-sel otak para mahasiswa yang juga dapat menggerogoti keyakinan dan keberagamaan mahasiswa dengan jumlah yang tidak sedikit.
Selain kontra narasi, narasi alternatif menjadi bentuk kongkrit menetralisir pencemaran atmosfir dunia akademik dari kabut radikalisme yang membutakan mata ideologi generasi muda. Mereka semakin jauh dari cahaya ideologi berbangsa dan bernegara dalam wilayah NKRI di bawah konsensus berbangsa di atas segala kekuasaan dan kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Narasi alternatif yang harus memenuhi hamparan hijau halaman kampus dapat mengantarkan mahasiswa menuju jalan yang lurus dan mewujudkan cita-citanya sebagai pelanjut estafet kepemimpinan dalam wadah negara Indonesia.
Segenap masyarakat kampus atau civitas akademika jangan mudah menyebarkan hoax, apalagi narasi instan yang akurasinya masih dipertanyakan. Muatan informasi yang sarat dengan muatan provokatif, dipenuhi penanaman kebencian dan penyebaran permusuhan hanya akan merusak otak ilmiah.
Fenomena penyebaran berbagai macam informasi yang provokatif tidak dapat dihindari seiring dengan kemajuan teknologi informasi. Namun yang perlu diwaspadai dan dicegah adalah agar setiap pribadi masyarakat kampus segenap civitas akademika tidak mudah menjadi penyebar kabar yang diterima melalui sosial media dalam WhatsApp, facebook, line atau instagram.
Menangkal penyebaran faham radikal di dalam dan dari dalam kampus hanya dapat dilakukan oleh civitas akademika sendiri. Mahasiswa bisa menjadi subjek dan lebih mudah menjadi objek sasaran penyebaran faham radikal yang tidak sedikit berlindung di balik narasi, simbol dan bahasa keagamaan. Jika tidak dicermati dan diwaspadai hal itu dapat mengganggu tradisi akademik segenap mahasiswa, bahkan dosen, ke dalam paham radikal yang dapat menjadi ancaman bagi imunitas berbangsa dan beragama bagi mahasiswa, dosen, dan segenap orang tua.