Takjil War Tak Hanya Gambarkan Indahnya Toleransi, Tapi Juga
Berkontribusi Pada Geliat Perekonomian

Yogyakarta – Fenomena perang takjil atau takjil war yakni berebutan
membeli makanan berbuka puasa tengah menjadi tren di masyarakat pada
bulan Ramadan kali ini. Momen ini bahkan kerap direkam lantas
dibagikan di media sosial sehingga menuai perhatian. Bahkan takjil war
ini tidak hanya dilakukan oleh umat Islam, tetapi juga banyak
dilakukan non islam (nonis).

Peneliti Pusat Kajian Ekonomi dan Bisnis Syariah (PKEBS) Fakultas
Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) Novat Pugo
Sambodo menyebut fenomena ini berkontribusi pada geliat ekonomi
sekaligus menunjukkan toleransi masyarakat.

Novat menjelaskan, istilah war digunakan untuk menggambarkan kondisi
riuhnya pencarian dan pembelian jajanan sore yang identik untuk
berbuka puasa di bulan Ramadhan dengan istilah takjil atau
menyegerakan berbuka.

“Istilah ini ramai dengan berbagai momen yang dibagikan oleh
masyarakat melalui media sosial seperti Tiktok dan Instagram,” kata
Novat, dalam keterangannya dikutip dari Gatra.com, Selasa (26/3/2024).

Menurutnya, saking ramainya, fenomena ini ditanggapi berbagai
kalangan, termasuk selain umat Islam, dengan respons beragam meski
lebih banyak tanggapan santai berupa candaan. “Hal ini pertanda bagus
bagi budaya toleransi beragama di Indonesia untuk saling menghormati
pelaksanaan ibadah agama yang berbeda,” kata dia.

Ia menjelaskan, meski tidak terkait langsung, besarnya permintaan
makanan pada sahur dan berbuka memberikan stimulus positif pada
meningkatnya penjualan pada sektor FnB atau food and beverages
(makanan dan minuman).

Ia merujuk pada publikasi Mandiri Daily Economic and Market, bahwa
Indeks Ekspektasi Penjualan (IEP) pada Maret 2024 menjadi sebesar
132,3, meningkat 15 persen dari bulan sebelumnya.

Menurutnya, fenomena ini akan mendukung peningkatan permintaan seperti
halnya peningkatan belanja masyarakat pada Januari-Februari 2024.
Mandiri Spending Index (MSI) mencatat angka permintaan itu mencapai 40
persen atau meningkat 10 persen dari tahun sebelumnya.

“Selain itu, pelaku usaha FnB masih banyak yang tergolong dalam
kategori usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), dan ini tentunya
bagus untuk meningkatkan kegiatan ekonomi di kalangan menengah ke
bawah,” pungkasnya.