Jakarta – Tidak ada satupun anggota fraksi yang menolak pelibatan TNI dalam penanganan terorisme. Hal itu dikatakan Anggota Komisi Hukum DPR, Arsul Sani.
“Tidak ada satupun yang menolak pelibatan TNI dalam penanggulangan terorisme. Yang ada bagaimana menempatkan dalam skema seperti apa pelibatan TNI itu perlu dilakukan atau harus dilakukan,” kata Arsul dalam diskusi di Gedung Parlemen, Jakarta, Selasa (1/12/2020).
Arsul menceritakan, saat pembahasan Rancangan UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (sekarang UU Nomor 5 Tahun 2018), perdebatan yang muncul adalah terkait skema pelibatan TNI, apakah semua peristiwa terorisme atau hanya peristiwa tertentu.
Skema itu, kata dia, menjadi penting karena penanggulangan terorisme di Indonesia, politik hukumnya didasarkan pada prinsip penegakan hukum yang mengacu pada sistem peradulan pidana.
“Makanya UU-nya pun masih pemberantasan tindak pidana terorisme. Artinya, peristiwa terorisme dianggap tindak pidana,” kata dia.
Karena sebagai tindak pidana, maka yang memberantas adalah penegak hukum, dalam hal ini polisi. Namun, Arsul menilai ada situasi di mana polisi tidak bisa sendirian, seperti kasus yang terjadi di Sigi dan Poso.
“Karena tidak bisa dan sudah terjadi dalam praktek dan ada UU Nomor 34 Tahun 2004, TNI dilibatkan, maka ada operasi tinombala yang gabungan polisi dan TNI,” ujarnya.
Menurut Arsul, TNI juga tidak bisa menangani terorisme sendirian karena akan ada masalah legalitas dan keabsahan operasi dari sisi hukum. Karena itu, ia pun meyakini pelibatan TNI dalam penanganan teroris akan dilakukan bersama-sama dengan polisi.