Jakarta – Di Sepanjang tahun 2017, Indonesia telah mendapat serangan siber sebanyak 205.502.159 ke pertahanan digital. Serangan ini mulai dari hoax, peretasan terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU), peretasan website pemerintah dan BUMN. Hingga serangan ransomware yang secara langsung meminta tebusan kepada masyarakat.
Pernyataan itu diungkapkan Ngasiman Djoyonegoro dalam peluncuran buku karyanya berjudul “Intelijen di Era Digital: Prospek dan Tantangan Membangun Ketahanan Nasional” di Menara Batavia, The President Lounge, Jakarta Pusat, kemarin. Menurut Ngasiman, seiring berjalannya perkembangan teknologi, muncul juga berbagai ancaman dalam bentuk dunia baru. Seperti cyber war, proxy war, perang asimetris, cyber terorism, perang spionase.
Hal ini jugalah yang menuntut intelijen untuk mampu beradaptasi terhadap dinamika perkembangan digital. Mengingat kondisi perang di era digital berlangsung sangat cepat, sunyi dan senyap.
“Jika dulu gerakan penyusupan intelijen terhadap suatu negara melalui jalur darat, kini penyusupan dilakukan melalui dunia siber,” ujar Ngasiman.
Di era digital sekarang, lanjutnya, muncul enam istilah perang siber, yakni low intensity wars atau perang intensitas rendah, small wars, network centric warfare atau perang berpusat pada jejaring. Kemudian fourth generation wars, non-conventional/hybrid wars atau perang non konfensional, dan asymmetric wars.
Menurutnya perkembangan di dunia siber telah muncul dalam satu dasawarsa pertama abad 21. Dalam satu dasarwa tersebut jumlah orang yang terhubung ke internet melesat jauh, dari 350 juta pengguna menjadi dua miliar pengguna.
Dalam periode yang sama, jumlah pengguna seluler melambung, dari 750 juta pengguna hingga lima miliar penguna. Bahkan diperkirakan sudah mencapai enam miliar lebih.
“Artinya, pada tahun-tahun mendatang, dunia sudah dalam genggaman digital. Siapa yang menguasai digital berarti menguasai dunia,” ungkap Ngasiman.
Dengan situasi tersebut, lanjut dia, intelijen menjadi garda terdepan dalam menjaga keutuhan NKRI. Intelijen harus mampu memahami sepenuhnya bentuk ancaman kejahatan baik yang berskala lokal maupun global.
Peperangan yang dulunya identik dengan senjata, peluru, pembunuhan, pengeboman, dan sebagainya kini telah bergeser dengan perkembangan teknologi.
“Kita bayangkan, kelompok teroris, perbankan hingga profiling terhadap orang dan perusahaan, melakukan aksinya dengan dukungan digital. Tak hanya itu, penyebaran informasi hoax bernada SARA yang dapat memperpecah bangsa sekarang juga berlangsung melalui perangkat digital,” pungkas Ngasiman.