Jakarta – Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Kamis (29/11/2018), merilis hasil survey nasional “Efektifitas Kearifan Lokal dalam Menangkal Radikalisme di Era Milenial”. Hasilnya, kearifan lokal sebagai sarana pencegahan terorisme tak lagi memiliki signifikansi tinggi karena tereduksi oleh media sosial.
Rilis survey ini disampaikan secara langsung oleh Kepala BNPT, Komisaris Jenderal Suhardi Alius. Dikatakannya, survey tahun ini merupakan penajaman atas survey tahun lalu yang mengangkat tema daya tangkal masyarakat terhadap radikalisme.
“Hasil survey tahun lalu menempatkan aspek kearifan lokal dan kesejahteraan adalah yang paling signifikan sebagai sarana pencegahan radikalisme. Tahun ini ingin lebih kami pertajam, apakah betul kearifan lokal masih signifikan, terutama di era yang serba digital,” kata Suhardi.
Survey yang dilakukan oleh BNPT menggunakan kombinasi metode kualitatif dan kuantitatif dengan rentang waktu antara bulan April – September 2018 di 32 provinsi se-Indonesia. Metode kualitatif dilaksanakan dalam bentuk diskusi terpumpun yang menghadirkan perwakilan pemerintah daerah, tokoh adat, agama, pendidikan, dan elemen pemuda di setiap provinsi.
Baca juga : Penanganan Napi Kasus Terorisme Berbeda dengan Kasus Kriminal Lainnya
“Sementara untuk kuantitatif dilakukan dengan penyebaran kuesioner ke 450 responden di setiap provinsi. Total responden yang dipakai adalah 14.400 orang, terdiri dari mahasiswa PTKN dan PTUN, dosen, siswa SMA dan MAN,” jelas Suhardi.
Di kesempatan ini Suhardi mengungkapkan, yang dimaksud kearifan lokal bukan seni dan budaya saja. Terdapat 4 bentuk kearifan lokal, yaitu tutur lisan, tata ruang, norma sosial, dan seni kebudayaan. Jadi jumlah responden yang ada, 63,60% menyatakan kearifan lokal masih relevan sebagai sarana pencegahan terorisme.
“Kearifan lokal masih relevan untuk pencegahan, tapi masalahnya di daerah tak ada lagi dokumen yang utuh tentang apa itu kearifan lokal. Akibatnya, tiga puluh koma nol sembilan responden memiliki pengetahuan yang kurang tentang apa itu kearifan lokal,” jelas Suhardi.
Kondisi tersebut, masih kata Suhardi, terjadi antara lain terjadi karena kurangnya sosialisasi kearifan lokal, khususnya di kalangan milenial. 28,33% responden mengakui hal tersebut. “Ditambah lagi faktor menurunnya interaktif antarmasyarakat karena efek dari kemajuan teknologi, faktor penetrasi media sosial yang demikian kuat,” tegasnya.
Dengan catatan tersebut, Suhardi mengungkapkan, pihaknya mendorong pemerintah daerah untuk melakukan transformasi dekonstruktif terhadap kearifan lokal. Ada 4 langkah yang direkomendasikan, yaitu inventarisir ulang kearifan lokal, pendeviniaian ulang, reformulasi, dan transfer of knoledge tentang apa itu kearifan lokal.
“Tapi harus diingat, semuanya dilakukan dengan pendekatan era milenial. Definisikan dan formulasikan ulang apa itu kearifan lokal dengan gerakan yang mudah diterima generasi milenial, sehingga mereka lebih teratrik dan tak lagi lari kepada media sosial saja untuk aktifitas sehari-harinyam” pungkas Suhardi. [shk/shk]