Jakarta – Perkembangan radikalisme saat ini terus menjangkau setiap sendi kehidupan masyarakat, bahkan tidak ada satu kelompok masyarakatpun yang luput dari bidikan kelompok radikal untuk menyebarkan paham-pahamnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, yaitu melalui jaringan media sosial yang kian sulit dibendung. Kondisi ISIS di Irak dan Suriah sudah mulai melemah, akan tetapi kita harus tetap waspada, karena mereka akan terus berupaya mencari wilayah-wilayah baru untuk melakukan aksi-aksinya.
Untuk itulah Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) terus bersinergi, berpikir bersama, untuk melakukan upaya-upaya bersama pencegahan terorisme secara terprogram dan berkesinambunga. Salah satunya dengan melakukan penguatan daya tangkal yang sudah dimiliki oleh masyarakat agar tidak terpengaruh paham-paham radikal tersebut
Hal tersebut diungkapkan Kepala BNPT, Komjen Pol. Drs. Suhardi Alius, MH, dalam sambutanya saat membuka seminar hasil survei nasional daya tangkal masyarakat terhadap radikalisme di 32 provinsi di Indonesia tahun 2017 yang berlangsung di Hotel Millenium, Jakarta, Senin (27/11/2017)
“Survei nasional ini merupakan dari bagian upaya BNPT dengan memberdayakan FKPT (Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) yang ada di 32 Provinsi untuk mengetahui kondisi ril masyarakat tentang potensi radikalisme yang ada di masing-masing daerah dan ada lima daerah yang tidak kita duga sebelumnya ternyata potensi radikalnya cukup tinggi ,” ujar Kepala BNPT.
Lebih lanjut mantan Sekretaris Utama (Sestama) Lemhanas ini menjelaskan, survei nasional ini juga untuk memotret secara lebih dekat, tentang kemampuan masyarakat untuk menangkal perkembangan radikalisme tersebut, agar tidak sampai berkembang di masyarakat.
“Secara khusus, survey nasional ini menguji beberapa variabel yang bisa dijadikan sebagai daya tangkal masyarakat terhadap radikalisme, baik dalam dimensi pemahaman, sikap maupun tindakan. Variabel-variabel tersebut yaitu kepercayaan terhadap hukum, kesejahteraan, pertahanan dan keamanan, keadilan, kebebasan, profil keagamaan dan kearifan lokal,” ujar mantan Kabareskrim Polri ini.
Lebih lanjut mantan Kapolda Jawa Barat ini menjelaskan bahwa, dari hasil survei yang melibatkan sebanyak 9.600 responden ini terlihat sudah cukup memprihatinkan. Apalagi angka yang perlu diwaspadai yaitu angka 58 dari rentang 0-100.
“Artinya memang paham itu dengan seiring kemajuan teknologi informasi digital yamg luar biasa itu ternyata banyak sekali pengaruhnya. Dan itu banyak sekali variable nya. Oleh sabab itu dengan melihat data hasil survei kita butuh peran serta dari 34 Kementerian/Lembaga (K/L) terkait,” ujar pria kelahiran Jakarta, 10 Mei 1962 ini.
Lebih lanjut menurut mantan Kadiv Humas Polri ini, yang paling mengemuka dari hasil temuan ini bertumpu kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Kementerian Agama (Kemenag).
“Kedua kementerian ini harus ikut bertanggung jawab. Kita selesaikan dan diskusikan bersama-sama di forum ini, apa yang mesti kita perbuat, program apa dari Kemendikbud dan Kemenag yang akan kita mainkan khususnya di sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA). Karena hasil survei menujukkan bahwa di tingkat itu yang mudah di brainwash oleh kelompok radikal di media sosial,” ujarnya.
Untuk itu menurutnya, BNPT sebagai lembaga pemerintah yang bertanggung jawab untuk mengkoordinasikan keseluruhan K/L yang terlibat dalam masalah pencegahan paham radikal terorisme ini akan membuat tabel mengenai apa peranan dari K/L terkait.
“Contohnya apa sih peranan Kemendikbud dan apa pernanan Kemenag. Nanti kita bisa secara bersama memberikan treatment yang benar, solusi yang terbaik kalau kita tidak mampu mengidentifikasi dari awal masalahnya. Jadi masing-masing daerah punya treatment yang pas dengan ini,” tutur mantan Wakapolda Metro Jaya ini.