Studi di AS Sebut Supremasi Kulit Putih Paling Banyak di Balik Serangan Teror

Washington – Lembaga think-tank Amerika Serikat (AS) Center for Strategic and International Studies (CSIS) mencatat kelompok supremasi kulit putih dan ekstrimis sayap kanan lainnya bertanggung jawab atas 67 persen serangan teror domestik di AS tahun ini. Hampir setengahnya adalah kekerasan terhadap pengunjuk rasa.

Dalam laporannya, CSIS mengatakan sepanjang 2020 hanya ada satu serangan mematikan dari kelompok ‘sayap kiri’. Penembakan aktivis sayap kanan Aaron Danielson oleh seorang yang menyebut dirinya sebagai ‘anti-Fasis’ dalam unjuk rasa di Portland pada bulan Agustus lalu.

Pakar kelompok ekstrem mengatakan penembakan itu menjadi pembunuhan pertama anggota anti-fasis di Amerika setelah 25 tahun. Sementara, para kelompok sayap kanan bertanggung jawab terhadap 41 serangan bermotif politik pada tahun ini.

Sementara, kelompok yang disebut ‘sayap kiri’ bertanggung jawab atas 12 serangan atau rencana serangan. Para pakar CSIS sudah mengumpulkan data serangan teror dalam negeri sejak 1994.

Dikutip dari the Guardian pada Minggu (25/10), data terbaru ini sangat bertolak belakang dengan klaim Presiden AS Donald Trump dan Departemen Kehakiman AS. Mereka mengatakan kekerasan yang terjadi dalam unjuk rasa anti-rasialisme dan brutalitas polisi dipicu oleh kelompok sayap kiri yang bernama ‘Antifa’ singkatan dari Anti-Fascist.

Berdasarkan pengamatan CSIS walaupun AS diterpa gelombang unjuk rasa selama berbulan-bulan. Tapi tahun ini, lebih sedikit warga AS yang tewas di tangan teroris domestik dibandingkan tahun lalu. Sebab, belum ada penembakan massal yang dimotivasi oleh ideologi politik.

Hingga 31 Agustus, pada 2020 ini hanya lima orang yang tewas dalam insiden serangan teror dalam negeri di AS, termasuk Danielson yang anggota kelompok sayap kanan Patriot Prayer.

Dua kematian lainnya adalah petugas penegak hukum yang ditembak mati kelompok anti pemerintah ‘boogaloo’ di Kalifornia. Satu orang adalah putra dari hakim New Jersey yang tewas ditembak teroris anti-feminis dan seorang pengunjuk rasa Black Lives Matter yang tewas dalam unjuk rasa di Austin, Texas.

Data CSIS menunjukkan beberapa tahun terakhir korban tewas serangan teror dalam negeri terus meningkat mulai dari 22 hingga 66 orang. Kematian terbanyak disebabkan penembakan massal seperti yang terjadi di Walmart El Paso tahun lalu atau klub malam Pulse pada 2016.

CSIS tidak memasukkan sejumlah serangan terkenal seperti pembunuhan dua demonstran Black Lives Matter di Kenosha, Wisconsin pada Agustus lalu. Sebab, tidak diketahui apakah pelaku yang berusia 17 tahun memiliki motif politik di balik serangan tersebut.