Jakarta – Wakil Ketua Komisi I DPR-RI, Tubagus Hasanuddin mengatakan, strategi teroris yang berubah membjat pemerintah membutuhkan kewaspadaan yang ekstra ketat. Target kelompok teroris lone wolf itu tetap membuat kerugian terhadap aparat keamanan yang dianggap thoghut.
Dikatakan, perubahan strategi teroris di Indonesia itu adalah dari terstruktur atau teroganisir menjadi non organisir atau gerakan inisiatif perorangan di wilayah masing-masing sesuai dengan kemampuannya. Hal itu bisa dilihat dari berbagai kasus yang terjadi di berbagai tempat belakangan ini.
Lihat saja kasus bom panci di Terminal Kampung Melayu, Jakarta Timur pada 24 Mei 2017, penyerangan di Mapolda Sumut pada 25 Juni 2017 yang menewaskan satu anggota polisi. Kemudian sehari berselang, tepatnya pada 26 Juni 2017, teror dengan secarik kertas diterima Satuan Lantas Polres Serang, Banten. Teranyar, adanya penusukan dua anggota polisi di Masjid Falatehan, Kebayoran Baru, pada 30 Juni 2017 dan berbagai ancaman lainnya.
“Gerakan ini bisa jadi sudah tersebar di banyak titik, yang sewaktu-waktu dapat muncul atau bergabung bersama. Ini adalah bentuk kegagalan deradikalisasi di dalam negeri, maupun upaya memfilter dan mengawasi mereka yang baru kembali dalam pertempuran di Irak dan Suriah,” kata Tubagus Hasanuddin dalam keterangan tertulis yang diterima wartawan, Kamis (6/7/2017).
Politikus Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia (PDIP) itu mengatakan, pola gerak teroris dalam melakukan perlawanan sekarang ini memang seadanya, bisa dengan sangkur, pisau dan panah. Tujuannya untuk merebut senjata aparat keamanan. Setelah senjata aparat keamanan berhasil direbut, pelaku teror itu akan melakukan gerilya kota, menembak dengan cara hit and run.
“Tidak mustahil, setelah beberapa pucuk senjata direbut, mereka melakukan penyerbuan terbatas terhadap pos keamanan tertentu. Untuk itu, sekali lagi, pemerintah harus benar-benar mampu mengorganisir kekuatan yang dimiliki guna menghadapi teroris,” tegas Mayjen purnawirawan TNI AD itu.
Catatan lainnya, pemerintah harus menertibkan akun-akun di sosial media yang kerap melakukan provokasi dan menyebarkan ujian kebencian. Sebab, mencermati dari aksi penikaman dua polisi di Masjid Falatehan yang dilakukan Mulyadi, ternyata si pelaku bukanlah jaringan teroris ISIS, tapi tindakan Mulyadi dilakukan karena terkoptasi dengan postingan kelompok pro ISIS di sosial media.