Stop Radikalisme, Polda DIY Gunakan Pendekatan Kisah Nyata Eks Napiter

Yogyakarta – Polda DIY kembali menggelar program Bincang Stop Radikalisme, sebuah inisiatif untuk mencegah penyebaran paham terorisme, radikalisme, dan intoleransi. Sepanjang tahun ini, program tersebut sudah dilaksanakan empat kali, menghadirkan mantan narapidana terorisme (napiter) yang telah insaf sebagai narasumber.

Kasubbid Penmas Bidhumas Polda DIY, AKBP Verena SW, menuturkan bahwa kegiatan ini menjadi salah satu program prioritas Polri. Harapannya, masyarakat dapat belajar langsung dari pengalaman para eks napiter agar tidak mudah terjerumus pada ajaran yang menyesatkan.

“Pesan utama yang kami sampaikan adalah jangan mudah terpapar paham radikal. Pada pertemuan terakhir, 30 September lalu, kami menghadirkan eks napiter dari Jamaah Islamiyah,” kata Verena, Kamis (2/10/2025).

Kisah Warjono, dari Gunungkidul ke Jaringan JI

Dalam forum tersebut, Polda DIY menghadirkan Warjono, atau akrab disapa Mas Jojon, seorang eks anggota Jamaah Islamiyah (JI). Ia menceritakan perjalanan hidupnya sejak masa muda hingga akhirnya bergabung dengan jaringan teror.

Jojon lahir di Gunungkidul, kemudian merantau ke Bantul usai lulus SMA pada 1995. Berbagai pekerjaan ia jalani, mulai dari buruh proyek hingga penjahit. Di masa itulah ia mulai mengenal kajian-kajian keagamaan yang ternyata mengarah pada radikalisme.

Pada 1997, ia aktif mengikuti halaqah, kelompok kajian kecil yang dijalankan secara sistematis. Tahun 2006, ia dibaiat dan resmi menjadi bagian dari Jamaah Islamiyah. Ia mengaku sempat aktif di kegiatan sosial dan kemanusiaan, namun tanpa disadari ikut masuk ke lingkaran jaringan teror.

“Istri saya bahkan tidak tahu kalau saya ikut JI. Baru tahu setelah saya ditangkap,” ungkapnya.

Menurut Jojon, jaringan JI bergerak sangat rapi dan profesional. Para anggota di lapisan bawah hanya bertugas di kegiatan terbuka seperti dakwah dan aksi sosial, tanpa mengenal siapa pemimpin yang sebenarnya. Struktur semacam ini membuat aparat kesulitan melacak.

“JI itu sembunyi di tempat terang. Kegiatan di permukaan terlihat baik, tapi di tingkat pimpinan ada yang makar, tidak taat pada aturan negara,” jelasnya.

Jojon divonis lima tahun penjara, namun karena berkelakuan baik ia hanya menjalani tiga tahun (2021–2024). Selama masa tahanan, ia sempat ditempatkan di beberapa lokasi, mulai Mapolda DIY, Rutan Cikeas, hingga Lapas Gunung Sindur.

Di balik jeruji, Jojon mengaku banyak berdiskusi dengan sesama napiter dan menyadari bahwa dirinya hanyalah korban manipulasi. “Kami dijadikan objek oleh pimpinan jaringan, dimanfaatkan, lalu dibiarkan begitu saja saat tertangkap,” katanya.

Polda DIY berharap kisah seperti yang dialami Jojon bisa menjadi pembelajaran nyata bagi masyarakat. Selain mencegah perekrutan baru, program ini juga diharapkan mengikis stigma negatif terhadap eks napiter yang telah kembali ke masyarakat.