Jakarta – Persoalan radikalisme dan terorisme terus menjadi momok menakutkan bagi masyarakat, setelah terbukti kerap terjadi aksi teror di berbagai negara termasuk di daerah-daerah strategis di Indonesia.
Diskursus terorisme sebagai gerakan ideologis yang menuntut paham dan keyakinan tertentu memang bertolak belakang dengan kemajemukan Indonesia. Apalagi di negara ini ada bermacam agama, ras dan suku yang tumbuh subur menjadi kekayaan bangsa Indonesia.
Ideologi dan politik mereka paksakan dengan kekerasan. Hal ini benar-benar menjadi ancaman serius bagi stabilitas keamanan nasional. Oleh kelompok radikal tersebut, masyarakat dipaksa satu paham dan satu frekuensi dan menyakini sesuatu yang mereka anggap paling benar. Akhirnya, masyarakat terus dibuntuti ketakutan.
Teror terjadi dimana-mana. Kengerian semakin membuncah. Jika terorisme tidak bisa dicegah, lambat laun Indonesia sebagai negara yang majemuk dengan beragam suku, ras dan agama terguncang identitasnya. Jaminan masyarakat hidup aman dengan beragam keyakinan itu mulai terampas dengan adanya gerakan radikalisme dan terorisme.
Mengikisnya toleransi di negara ini membuat Stanislaus Riyanta menginisiasi sebuah lembaga riset yaitu Pusat Studi Politik dan Kebijakan Strategis Indonesia (Polkasi).
Lembaga ini diakuinya, akan fokus di bidang penelitian terutama terkait radikalisme dan terorisme. Salah satu tujuan lembaga ini adalah memberi pemahaman terhadap masyarakat terkait radikalisme terorisme, termasuk bagaimana radikalisme dan terorisme bisa terjadi dan pencegahannya.
Pria yang lahir pada bulan Maret ini, memang aktif menjadi analis intelijen dan terorisme, bidang yang ia tekuni sejak menempuh studi S2 Kajian Strategik Intelijen di Universitas Indonesia (UI). Intelijen, baginya, menjadi sangat menarik karena berperan dalam deteksi dini dan cegah dini atas ancaman.
Menurut pria yang lahir di lereng Gunung Prau di Kendal Jawa Tengah ini, ancaman bisa datang pada negara, maupun pada lingkup yang lebih kecil seperti organisasi bahkan bidang bisnis.
“Salah satu yang saya tekuni adalah intelijen bisnis, yaitu suatu sistem untuk mendeteksi dini dan mencegah dini ancaman di sektor bisnis. Banyak organisasi bisnis yang bisa menghemat biaya karena menerapkan intelijen dalam organisasinya,” tuturnya di Jakarta, Sabtu, (21/3) lalu.
Meski, kata Stanis, bidang yang dia tekuni bagi sebagian orang mungkin kurang menarik karena tingkat risikonya yang tinggi, tapi bagi dia membumikan intelijen sebagai ilmu pengetahuan mempunyai daya tarik tersendiri.
“Beberapa kegiatan yang saya lakukan seperti menjadi narasumber di diskusi terbatas, diskusi terbuka, narasumber untuk media massa dan trainer untuk bidang intelijen masih terus saya lakukan. Saya suka mengajar, jika ada pilihan pekerjaan dalam waktu bersamaan antara mengajar dengan pekerjaan lain pasti saya utamakan yang mengajar,” jelasnya.
Dia meyakini dengan mengajar pengetahuan intelijen akan berdampak pada semakin banyaknya pihak yang mampu melakukan deteksi dini dan cegah dini atas ancaman. “Manfaatnya tentu saja membuat situasi di negara ini semakin aman,” tambahnya.
Konsentrasi analisis Stanislaus Riyanta pada deteksi dini dan cegah dini atas ancaman, terutama untuk memberikan prediksi, forecasting dan skenario, serta rekomendasi dalam pencegahan dan penanganan ancaman.
Produk-produk analisis Stanislaus mudah diperoleh dengan cepat di media massa dalam dan luar negeri terutama jika ada kejadian-kejadian tertentu yang berhubungan dengan keamanan seperti aksi terorisme.
Bahkan analisis situasi terkait peristiwa politik yang dibuat Stanislaus cukup akurat dan menjadi rujukan banyak pihak. Stanislaus adalah sosok yang sangat mudah dihubungi oleh awak media untuk menjelaskan situasi yang terkait dengan bidangnya.
“Saya meneliti fenomena radikalisme dan terorisme dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana radikalisme dan terorisme bisa terjadi dan bagaimana melakukan pencegahannya. Saya fokus pada pencegahan, bukan pada penindakan pelaku terornya,” tegasnya.
Fenomena radikalisme dan terorisme bagi masyarakat Indonesia sudah tidak asing lagi. Gerakan yang merupakan bagian dari kelompok trans nasional ini memang sangat sulit dideteksi. Kelompok tersebut sering kali tiba-tiba meluncurkan aksi teror dan membuat masyarakat pelan perlahan terampas rasa aman dan ruang hidupnya.
Maka dari itu, Pusat Studi Politik dan Kebijakan Strategis Indonesia (Polkasi) didirikannya untuk menjadi sarana penelitian yang diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat terutama dalam peran diteksi dini dan cegah dini atas ancaman.
Jelas Stanis, lembaga ini juga akan fokus pada penelitian yang berhubungan dengan intelijen. Ia menjelaskan bahwa konteks intelijen yang dia maksudkan adalah intelijen sebagai pengetahuan, bukan intelijen operasi seperti bayangan orang awam, sebagai agen atau mata-mata. Stanislaus juga menjelaskan bahwa dalam dunia intelijen ada dua fungsi dominan yaitu analis dan agen.
“Konteks intelijen sangat luas, bisa diaplikasikan dalam politik praktis, bidang bisnis, keamanan, dan lainnya, jadi bidang ini masih luas segmennya, prospeknya juga cerah. Namun saya tidak masuk ke dalam ranah praktisnya, saya lebih pada ranah analisis dan pengetahuannya,” tuturnya.
Pria yang hobi mendaki gunung ini memiliki kisah hidup yang cukup unik. Besar dari keluarga Katolik, bapaknya adalah guru di sekolah swasta milik Yayasan Kanisius, sedangkan ibunya mengurus rumah tangga. Pendidikan SD-SMP dia tempuh di sekolah Katolik milik Yayasan Kanisius, sedangkan SMA ia tempuh di SMA Negeri 1 Sukorejo Kendal.
Setamat SMA, dia sempat berhenti satu tahun, kemudian melanjutkan kuliah di Yogyakarta, tepatnya di Fakultas Matematika dan IPA (MIPA) Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Pilihan Fakultas MIPA diakuinya bukan karena ia mampu dan cakap dalam bidang Matematika dan IPA, tetapi karena pertimbangan ekonomis yakni lebih murah dibanding fakultas lain. Ia mengaku sangat terkesan ketika menempuh studi di Universitas Sanata Dharma, karena tidak hanya belajar ilmu pengetahuan tetapi juga belajar nilai-nilai lain terutama humanisme.
Setelah meraih gelar Sarjana Sains, dia kemudian bekerja di Kalimantan selama beberapa tahun. Pada tahun 2014 dia mendapat kesempatan untuk menempuh studi di Universitas Indonesia jurusan S2 Kajian Stratejik Intelijen.
Studi tersebut berhasil dia selesaikan pada tahun 2016 dengan predikat cumlaude. Tanpa membuang waktu lagi pada 2017 ia kembali melanjutkan studinya di Universitas Indonesia pada program studi S3 Ilmu Administrasi, konsentrasi pada Kebijakan Publik, dengan tema disertasi ‘Pencegahan Terorisme’.
Sampai saat ini, Stanislaus Riyanta masih tetap tekun menjadi analis intelijen dan terorisme. Hasil analisisnya terutama di bidang keamanan dan terorisme sering menjadi rujukan media nasional dan internasional. Baginya, membuat analisis terkait terorisme dan keamanan adalah bentuk pengabdiannya terhadap negara.