Kupang – Wakil Ketua MPR RI, Mahyudin menegaskan bahwa sosialisasi Empat Pilar MPR adalah salah satu upaya untuk mengantisipasi ancaman internal dan eksternal bangsa Indonesia. Ancaman kebangsaan itu tidak pernah selesai dan selalu ada yang mencoba untuk merongrong Indonesia, karena tidak suka bangsa ini bersatu dan utuh sebagai negara yang kaya sumber daya alam dan sumber daya manusia.
Dikatakan, kalau bukan kita yang menjaga diri sendiri, lalu siapa lagi yang akan menjaga diri kita. Salah satu caranya adalah dengan memberikan pemahaman Pancasila atau Empat Pilar MPR. Pancasila sangat penting untuk ditanamkan kepada seluruh lapisan masyarakat, terutama untuk kalangan generasi muda, agar dijadikan perilaku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Salah satu dari sekian banyak ancaman adalah adanya upaya memecah belah bangsa Indonesia. Kita tidak menuduh, tapi kenyataan itu memang ada. Karena orang melihat Indonesia yang terdiri dari ribuan suku bersatu dalam sebuah wadah NKRI, sehingga ada yang mencoba untuk memecah belah kita,” kata Mahyudin saat membuka sosialisasi Empat Pilar MPR di aula Universitas Muhammadiyah Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), Jumat (27/10/2017).
Dijelaskan, pada masa Orde Baru, sosialisasi Empat Pilar MPR ini bernama Penataran Penghayatan dan Pedoman Pancasila (P-4). Saat itu, hafal P-4 pola 100 jam menjadi salah satu syarat masuk universitas. Jika dihitung, P-4 itu memakan waktu dua pekan. Habis penataran dievaluasi, dan kalau tidak lulus harus mengulang lagi. Di era reformasi terjadi perubahan, BP-7 dibubarkan, dan tak ada lagi P-4.
Setelah Pemerintahan Orde Baru turun terjadi semacam trauma. Muncul anggapan Pancasila menjadi alat kekuasaan, dan sangat terasa setelah peristiwa pemberontakan G-30-S/PKI, di mana banyak jenderal menjadi korban. Karena itu, setiap 1 Oktober diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila. “Sejak itu Pancasila harus ditanamkan di jiwa setiap bangsa dalam bentuk doktrin. Waktu itu, orang bisa ditangkap karena dianggap tidak Pancasilais,” jelasnya.
Mahyudin pun menceritakan sejarah lahirnya Pancasila. Dimulai dari pidato Presiden Soekarno pada 1 Juni 1945 di depan sidang BPUPKI yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Lahirnya Pancasila. Untuk menyusun dan menyempurnakan konsep Pancasila 1 Juni itu, BPUPKI membentuk Panitia Sembilan, yang kemudian melahirkan Piagam Jakarta. Selanjutnya, Pancasila hasil rumusan Panitia Sembilan yang dipimpin Bung Karno dengan anggota 27 orang itu dibahas dalam sidang PPKI.
Pembahasan Pancasila, baik di BPUPKI maupun di PPKI, melibatkan tokoh Muhammadiyah. Tokoh Muhammadiyah di BPUPKI adalah Abdul Kahar Muzakir, sedangkan di PPKI terdapat nama Ki Bagus Hadikoesoemo. “Terjadi perdebatan panjang dan sangat alot, terutama ketika membahas mengenai sila pertama Pancasila hasil Piagam Jakarta. Tapi, dengan sikap sedia berkorban, tujuh kata Piagam Jakarta dihilangkan, hingga berbunyi: Ketuhanan Yang Maha Esa,” lanjutnya.
Berdasarkan bukti sejarah tersebut, Mahyudin menilai bahwa Pancasila, seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, tidak bisa diutak-atik lagi. Terlebih ketika terjadi amandemen UUD 1945 pada 1999 hingga 2002, telah disepakati tidak akan mengubah Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 dan NKRI sebagai bentuk negara. Dengan Pancasila kita jangan mau diadu-domba. Kalau kita mau diadu-domba maka tak tertutup kemungkinan kita akan dijajah kembali.
Sosialisasi Empat Pilar MPR di Universitas Muhammadiyah Kupang, diselenggarakan Pimpinan Pemuda Muhammadiyah Kupang bekerja sama dengan Setjen MPR. Lebih dari 400 peserta yang sebagian besar pemuda Muhammadiyah dan dosen Universitas Muhammadiyah Kupang mengikuti sosialisasi. Selain Wakil Ketua MPR Mahyudin, juga menjadi narasumber sosialisasi ini adalah anggota MPR Zulfadli dan Abraham Liyanto.