Jember – Mantan narapidana terorisme, Sofyan Tsauri, menunjukkan adanya kelemahan dalam lembaga dakwah kampus (LDK) sehingga mudah tersusupi paham keagamaan radikal dan intoleran.
“Pelajaran bidang studi atau kurikulum lembaga dakwah di kampus kurang cukup waktu untuk membahas persoalan-persoalan hukum Islam, karena memang untuk memahaminya butuh waktu dan perlu keilmuan khusus,” papar Sofyan, usai kuliah umum tentang radikalisme di kampus Universitas Jember, Kabupaten Jember, Jawa Timur, Rabu (26/9).
“Kecuali kalau mereka copy paste atau mengambil pendapat ulama lain. Persoalannya yang terjadi dalam kampus atau sekolah, mereka sering membahas persoalan-persoalan yang bukan kompetensi mereka dalam menghukumi orang,” kata Sofyan.
Sofyan mencontohkan adanya mentor yang memberi informasi satu arah, sehingga memandang kebenaran dalam kacamata kuda. “Misal hukum rokok haram. Dikatakan ini sudah ijma’ ulama. Padahal belum ada ijma’ ulama. Persoalannya masih perkara ikhtilaf. Nah yang kayak begini, anak-anak muda yang baru daurah sehari dua hari dengan keislaman bersemangat, ingin memperjuangkan Islam, tapi karena tidak memahami persoalan sudut pandang dalam hukum fikih atau persoalan-persoalan ikhtilaf di kalangan ulama, mereka intoleran terhadap pendapat orang lain,” katanya.
Hal seperti ini, menurut Sofyan, membuat gaduh. “Ketika pemahaman yang mereka dapatkan di kampus diterapkan di lingkungan mereka, sering terjadi kegaduhan,” katanya.
“Karena mentornya kurang punya kapasitas, dia juga korban doktrin, ini ditransfer kepada para mahasiswa kita, akhirnya mahasiswa dan mahasiswi kita tak punya daya toleransi terhadap persoalan-persoalan ikhtilaf atau perbedaan-perbedaan yang bukan mukafirat atau perbedaan yang bisa menyebabkan orang menuju kekafiran. Gara-gara urusan rokok saja bisa saling mengkafirkan,” kata Sofyan.
Sofyan mengusulkan pemerintah turun tangan. “Para mentor setidaknya diberi pemahaman soal fikih ikhtilaf atau setidaknya mereka memahami nilai-nilai kebangsaan, sehingga mereka paham bahwa kaki mereka menginjak di Indonesia bukan di Arab,” katanya.
Kelemahan lainnya adalah keterbatasan kemampuan mahasiswa. “Misalkan dia tidak memahami bahasa Arab. Dia belum pernah mempelajari ushul fiqh. Dia tidak pernah memahami perbandingan mazhab dan sebagainya. Ini menyebabkan toleransi mereka kurang, kurang menghargai perbedaan terhadap saudara-saudara mereka,” kata Sofyan.