Jakarta – Umara (pemerintah) dan ulama adalah dua bagian yang saling menopang membentuk satu kesatuan yang kokoh. Cepat berubahnya dinamika sosial akibat dari era disrupsi informasi menuntut kekompakan dari umara dan ulama demi mewujudkan stabilitas di tengah masyarakat. Melalui sinergi keduanya, Indonesia dapat memupuk nilai toleransi dan kemanusiaan di atas berbagai perbedaan kelompok dan golongan.
Guru Besar Hukum Islam Kontemporer UIN Alauddin Makassar, Prof. Dr. H. Muammar Bakry, menyampaikan bahwa ulama dan umara adalah dua elemen penting yang memiliki peran sangat signifikan terhadap perkembangan peradaban manusia. Karenanya, mereka perlu bersinergi untuk menyampaikan nilai-nilai kebaikan, kedamaian, kesejahteraan dan ketenteraman pada masyarakat.
“Jika kedua elemen ini tidak menjalankan perannya sesuai dengan nilai-nilai kebaikan tadi, maka masyarakat sangat mudah untuk terombang-ambing dengan berbagai isu. Keduanya harus saling mendukung karena masing-masing punya power yang berbeda, kekuatan ada pada umara dan keagamaan ada pada ulama,” terang Prof. Muammar di Makassar, Selasa (21/11/2023).
Ia menambahkan bahwa masyarakat diharapkan juga bisa melihat dengan jeli tentang siapa yang dianggap sebagai ulama. Merupakan suatu kewajaran jika yang dianggap dan ditokohkan sebagai ulama adalah mereka yang telah memenuhi kriteria tertentu. Jangan sampai ada oknum belum pantas dikatakan sebagai ulama, namun ia membuat pengakuan sepihak bahwa dirinya adalah seorang ulama.
Untuk itu, ungkap Prof Muammar, perlu dipahami bahwa pemenuhan kriteria untuk bisa dikatakan sebagai seorang ulama itu sangat berat. Sebagai ulama, seseorang harus memiliki penguasaan keagamaan yang sempurna dengan kajian pendalaman literasi yang cukup.
“Hal yang terkadang merusak persepsi publik terhadap citra ulama itu ketika ada oknum yang mengaku dirinya sebagai ulama, atau mungkin diakui secara tidak objektif oleh masyarakat tertentu. Misalnya karena mungkin ia pandai mengutip beberapa ayat, kemudian dirinya dijadikan sebagai pedoman keagamaan yang justru bisa merugikan umat karena tidak memiliki penguasaan keagamaan yang komprehensif,” jelas Prof. Muammar.
Maka dari itu, Sekretaris Umum pada Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulawesi Selatan ini pun mengimbau agar masyarakat berhati-hati dalam memberikan predikat ulama terhadap figur tertentu. Selain penguasaan literasi yang baik, seorang ulama juga harus memiliki akhlak dan karakter yang santun, tenang, dan tidak mudah menghasut.
“Jadi kalau ada ulama yang lebih banyak melakukan provokasi itu sebenarnya secara akhlak belum dikatakan ulama, karena ulama itu menenangkan suasana menjadi damai, bukan malah melakukan provokasi. Jadi ulama itu dari segi keilmuan kemudian kriteria yang kedua adalah dari segi karakter, yang membawa kepada kedamaian dan ketenangan umat,” tuturnya.
Selain itu, lanjutnya, ulama dan umara harus pula memiliki kemampuan sebagai pendengar yang baik bagi rakyat yang mereka pimpin. Indonesia yang masyarakatnya ini sangat beragam latar belakangnya memiliki aspirasi yang berbeda-beda dan harus diwadahi sesuai dengan bingkai konstitusi. Bahkan seorang yang tercatat pernah melakukan tindakan intoleransi dan radikalisme juga masih bisa berkontribusi bagi tanah airnya selama dilakukan dengan cara yang baik.
Prof. Muammar menguraikan orang yang sudah bertobat dan kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi terkadang justru lebih produktif dengan kontribusinya. Orang yang pernah terpapar, lalu ia menyesali perbuatannya dan menganggap sesat perbuatan yang lalu.
“Ia kemudian melakukan perbaikan-perbaikan untuk kemaslahatan umat dan bangsa. Inilah sesungguhnya titik balik yang diharapkan oleh kita semua agar bisa dipelajari, sehingga menghindari adanya orang lain,” terang Ketua FKPT Sulawesi Selatan ini.
Mengakhiri penjelasannya, Prof. Muammar Bakry berharap semoga umara dan ulama di Indonesia bisa memberikan nilai-nilai moderasi beragama. Sinergitas keduanya menjadi penting untuk menghindari adanya pemahaman-pemahaman keagamaan yang mengarah kepada intoleransi dan radikalisme. Jangan sampai pemahaman keagamaan yang salah kemudian membentuk opini pada masyarakat awam dan dianggap sebagai sebuah kebenaran. Ini yang bisa berbahaya.
“Dengan adanya urgensi menjawab tantangan era disrupsi informasi, sinergitas ulama dan umara tentu perlu dibangun sehingga ada balancing pada kedua elemen penting ini dalam memainkan perannya. Ulama sebagai sadiqul hukuma atau mitra pemerintah, kemudian umara juga mendapatkan pencerahan dari ulama ketika menjalankan fungsinya. Kalau ulama dan pemerintahnya benar, maka inilah yang kita harapkan bisa terbangun masyarakat madani,” tandasnya.