Simposium Internasional 4th Kemenag Kembangkan Keilmuan Moderasi Beragama

Jakarta – Simposium Internasional ke-4 Literasi Keagamaan dan Warisan Kebudayaan atau International Symposium of Religious Literature Heritage (The 4th Islage) yang digelar Kementerian Agama di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, pada 2-4 Agustus 2023 salah satunya bertujuan mengembangkan keilmuan tentang moderasi beragama.

Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Prof. Al Makin dalam sambutan pada pembukaan simposium internasional di Yogyakarta, Rabu, mengatakan agenda internasional ini dapat menjaga persahabatan UIN dengan berbagai pihak, seperti Kemenag, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dan berbagai perguruan tinggi di Indonesia.

“Serta dapat bersama-sama mengembangkan keilmuan yang berpijak pada moderasi beragama dalam bingkai kemajemukan yang harmonis di Indonesia,” kata  Prof. Al Makin dalam keterangannya, Rabu (2/8).

Sementara itu, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan dan Pelatihan (Balitbang Diklat) Kemenag Prof Amin Suyitno mengatakan, simposium yang mengusung tema Religious Heritage on Tolerance Non-Violance, and Accommodated Traditions sangat erat kaitannya dengan moderasi beragama.

Dia mengatakan, saat ini Indonesia sedang menghadapi tren intoleransi yang terus naik secara signifikan, utamanya di dunia pendidikan terutama tingkat kampus. Oleh karena itu, kampus harus dapat membantu menyukseskan terbentuknya rumah moderasi beragama.

“Moderasi beragama mengusung sisi universalisme manusia. Maka sudah seharusnya untuk memanusiakan manusia yang merupakan substansi moderasi beragama dan agama,” katanya.

Dia juga mengatakan, lembaga pendidikan berbasis madrasah di bawah naungan Kemenag, dan berbasis sekolah di bawah Kemendikbud, keduanya mempunyai cara mengekspresikan moderasi beragama yang berbeda, dan keduanya harus didukung secara adil.

Dia mengatakan, Kemenag memiliki tanggung jawab untuk merawat dan melestarikan budaya nusantara, karena saat ini di Indonesia ada sebuah gejala yaitu intoleransi terhadap budaya berupa penolakan budaya lokal atau local wisdom. Padahal sejarah Bhineka Tunggal Ika tidak lepas dari nilai budaya.

“Merawat budaya juga memiliki arti menjaga martabat bangsa, budi pekerti dan adab, agar Bangsa Indonesia tidak kehilangan pijakan,” katanya.

Sedangkan Wakil Menteri Agama Saiful Rahmat Dasuki dalam sambutan pembukaan mengharapkan agar simposium Internasional ini dapat memberi dampak baik bagi negara serta membangun citra positif bahwa Indonesia adalah negara yang moderat.

“Tantangan terbesar yang dihadapi dalam realita kehidupan manusia kita saat ini adalah bagaimana menghadirkan semangat toleransi, sehingga semangat toleransi Indonesia yang dikarunia dengan beragam suku, ras dan budaya yang melahirkan Pancasila, akan dapat terjaga,” katanya.