Jakarta – Sejak masa nenek moyang nusantara, ajaran spiritualitas keagamaan yang beragam di baik Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha berakar pada satu landasan etik toleransi. Namun saat ini ada kelompok-kelompok yang berusaha untuk merusak toleransi tersebut dengan menolak perayaan keagaaman lain. Padahal toleransi merupakan watak dan karakter asli bangsa indonesia sejak dulu yang merupakan kerangka persatuan.
Staf Khusus Dewan Pengarah Badan Pembinaan Idelogi Pancasila (BPIP), Romo Benny Susetyo mengatakan bahwa sebenarnya masyarakat Indonesia ini sudah melaksanakan toleransi dalam kehidupan sehari-harinya.
“Sudah ratusan bangsa kita hidup dalam persaudaraan sejati, yaitu bekerja sama meskipun berbeda keyakinan karena hidup dalam kultur yang disebut gotong royong. Sehingga ketika ada perayaan hari besar keagamaan, di daerah-daerah pedesaan itu sudah biasa mereka saling membantu, ikut menghiasi atau saling menjaga. Itulah tradisi kita yang sebenarnya dan sudah terjadi,” ujar Romo Benny Susetyo di Jakarta, Selasa (24/12/2019).
Pria yang juga anggota Gerakan Suluh Kebangsaan ini juga menuturkan bahwa jika kemudian terdapat perbedaan-perbedaan di masyarakat seharusnya hal tersebut dapat diselesaikan bersama dengan prinsip musyawarah mufakat yang sudah menjadi ciri khas perdaban masyarakat bangsa ini sejak lama.
“Memang ada sebagian kecil masyarakat kita yang intoleran, tetapi intoleran itu kan hampir semua negara mengalami intoleran itu. Jadi kalau misalnya ada pelarangan ibadah dan lainnya perlu ada musyawarah mufakat untuk diberi pengertian dan penjalasan bahwa pelarangan ibadah itu tidak dibenarkan karena ibadah setiap agama itu dijamin oleh konstitusi,” tutur pria Kelahiran Malang 10 Oktober 1968 itu.
Karena itu, menurutnya perlu ada penguatan kultur kebangsaan yang ada dimasyarakat untuk memperkuat toleransi antar sesama anak bangsa. Dan untuk memperkuat toleransi antar umat bangsa ini tentunya harus kembali lagi kepada kearifan lokal yang kita miliki misalnya seperti budaya kerja bakti, silaturahmi dan saling mengunjungi.
“Misalnya seperti lebaran Idul Fitri atau Natal itu orang-orang bisa makan bersama tanpa ada ritual ibadat disitu, Mereka hanya ikut makan dan kumpul. Kultur itulah yang harus terus diperkuat dan diarusutamakan dalam kehidupan bangsa ini,” ucap alumni Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi (STFT) Widya Sasana Malang ini.
Selain itu, Romo Benny juga mengatkana kalau masyarakat bangsa ini juga harus meneladani sikap dari para tokoh bangsa ini. Karena meskipun mereka itu berbeda paham dan keyakinan, namun mereka tetap bisa bersahabat. Dirimya memberikan contoh yang pada jaman pra dan pasca kemerdekaan Indonesia ini ada Mohammad Natsir dan Ignatius Joseph Kasimo Hendrowahyono, Yang mana Natsir itu tokoh Islam terkrmuka di ini sekaligus pendiri Partai Masyumi, sementara Kasimo adalah pendiri Partai Katolik Indonesia.
“Tetapi hari Natal, Natsir ini adalah orang pertama yang mengucapkan selamat Natal kepada Kasimo yang tokoh katolik. Demikian pula saat Idul Fitri, Kasimo lah orang pertama yang memberikan ucapan selamat Idul Fitri setelah shalat Ied kepada Natsir. Itulah yang bisa kita pelajari dari tokoh-tokoh besar bangsa ini,” ungkap Romo Benny.
Tetapi menurut Benny, jika ada sebagian kecil dari orang atau kepompok yang misalnya menolak untuk memeberi ucapan selamat Natal menurutnya tidak masalah dan tidak perlu dibesar-besarkan.
“Menurutn saya kalau ada kelompok kecil yang tidak mau mengucapkan selamat Natal ya sudahlah tidak usah dibesarkan. Dan itu hak setiap orang dalam demokrasi, tetapi yang terpenting adalah kita mencontoh para tokoh bangsa yang menjaga persatuan dan nasionalisme, karena bangsa ini dibangun dari perjuangan segenap anak bangsa,” ujarnya
Oleh karena itu dia menyampaikan pentingnya pendidikan karakter kepada setiap warga negara ini untuk terus selalu menjaga rasa persaudaraan yang sudah ada sejak lama..
“Karena masyarakat indonesia perlu mengaktualisasikan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, meskipun kita berbeda keyakinan agama, suku ataupun etnis. Maka perayaan-perayaan keagamaan adalah perayaan setiap manusia di Indonesia untuk bersama-sama mewujudkan gotong royong,” ucapnya
Untuk itu Romo Benny juga berharap kepada pemerintah khususnya Pemerintah Daerah agar turut serta untuk berperan aktif menjaga kerukunan umat beragama di daerahmya. Karena kepala daerah memiliki kewajiban untuk menjaga kerukunan umat beragama di daerahnya bersama Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).
“Kepala Daerah bersama FKUB setempat harus memperkuat tali silaturahmi persaudaraan lintas agama. Nah kalau ada masalah, Pemerintah Daerah bersama FKUB ini harus menyelesaikan permasalahannya melalui musyawarh mufakat. Jangan kemudian Kepala Daerah malah lepas tangan,” ujarnya mengakhiri.