Setara Institute: Ledakan di SMAN 72 Jakarta Diduga Terhubung Ideologi Ekstremisme Global

Setara Institute: Ledakan di SMAN 72 Jakarta Diduga Terhubung Ideologi Ekstremisme Global

Jakarta – Setara Institute menilai tragedi ledakan di SMAN 72 Jakarta bukan sekadar tindak kriminal biasa, melainkan memiliki keterkaitan dengan ideologi ekstremisme global. Indikasi ini terlihat dari sejumlah temuan di lokasi kejadian yang menunjukkan adanya inspirasi dari aksi-aksi teror di luar negeri.

“Temuan itu menjadi penegas bahwa peristiwa ini tidak berdiri sendiri, namun patut diduga mengarah pada aksi terorisme,” ujar Direktur Eksekutif Setara Institute, Halili Hasan, dalam keterangan tertulis, Minggu (9/11/2025).

Ledakan terjadi dua kali di lingkungan SMA Negeri 72, Jalan Prihatin Nomor 87, Kelapa Gading Barat, Jakarta Utara — masing-masing di area masjid sekolah dan di bagian belakang gedung. Peristiwa itu melukai puluhan orang dan memunculkan dugaan adanya bom rakitan yang dibawa oleh salah satu siswa.

Polisi menemukan sejumlah barang bukti di lokasi, termasuk senjata mainan yang di permukaannya terdapat tulisan nama-nama pelaku penembakan masjid di luar negeri, seperti Brenton Tarrant, Alexandre Bissonnette, dan Luca Traini. Ketiganya diketahui sebagai pelaku serangan terhadap jamaah masjid dan imigran di berbagai negara dengan motif supremasi kulit putih dan ideologi neofasis.

Selain itu, pada senjata mainan tersebut juga tertulis kalimat “Welcome to Hell” dan “For Agartha”, yang diduga mengandung simbolisme tertentu yang kerap digunakan dalam komunitas daring ekstremis.

Penyelidikan kemudian mengarah pada seorang siswa sekolah tersebut. Setelah dilakukan penggeledahan di rumahnya pada Sabtu malam (8/11), polisi menemukan barang-barang yang konsisten dengan temuan di tempat kejadian perkara (TKP).

Remaja itu pertama kali ditemukan di sekitar lokasi kejadian dalam kondisi bersimbah darah, tergeletak di samping senjata mainan yang memiliki tulisan-tulisan tersebut. Ia juga diketahui mengenakan sepatu boots, celana hitam, serta kaus tanpa lengan bertulisan “Natural Selection”, yang sempat menjadi perhatian karena merujuk pada simbol yang pernah digunakan pelaku penembakan di luar negeri.

Halili menilai, kasus ini harus menjadi peringatan bagi pemerintah untuk memperkuat kembali program pencegahan ekstremisme berbasis kekerasan, yang belakangan dinilai mengalami pelemahan.

“Program deradikalisasi dan kontra-ekstremisme seharusnya masuk dalam prioritas nasional agar generasi muda tidak mudah terpapar ideologi kebencian,” tegasnya. Menurut Setara Institute, lemahnya literasi digital dan rendahnya kemampuan deteksi dini di lingkungan pendidikan membuat ruang siber menjadi lahan subur bagi penyebaran paham ekstrem. Karena itu, Halili menyerukan agar pemerintah bersama lembaga pendidikan dan masyarakat sipil meningkatkan upaya pencegahan sejak dini.