Jakarta – Ketua Setara Institute Hendardi mengkritik keras Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme yang telah dikirim Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H Laoly ke DPR pada 4 Mei 2020.
Hendardi menilai, rancangan Perpres ini mengancam supremasi konstitusi, merusak integritas hukum nasional, dan mengancam kebebasan masyarakat sipil.
Dia mengatakan, Rancangan Perpres tersebut sebebarnya mandat untuk memperoleh persetujuan DPR, adalah mandat Pasal 43I ayat 1,2, dan 3 UU nomor 5/2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang pada intinya menyebutkan bahwa tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme merupakan bagian dari operasi militer selain perang, yang detailnya kemudian didelegasikan untuk diatur dalam Perpres.
Dia menambahkan, sebagai sebuah regulasi turunan dari Pasal 43I, Hendardi menekankan penyusunan Perpres tersebut tidak boleh melampaui ketentuan yang telah diatur dalam Pasal 43I.
“Penyusunan R-Prespres tidak boleh melampaui ketentuan yang secara tegas diatur dalam Pasal 43I yang merupakan dasar hukum RPerpres tersebut,” kata Hendardi dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Senin, (11/5).
Atas dasar itu, Hendardi menyatakan Rancangan Perpres yang seharusnya disusun pemerintah dalam menerjemahkan mandat delegasi dari Pasal 43 I adalah menyusun kriteria dan skala ancaman, jenis-jenis terorisme, teritori tindak pidana terorisme, prosedur-prosedur pelibatan, termasuk mekanisme perbantuan terhadap Polri.
Selain itu akuntabilitas pelibatan TNI dalam penanganan aksi terorisme juga perlu diatur karena tidak ada mekanisme tanggung gugat atas anggota TNI, ketika melakukan tindak yang melanggar hukum.
“Di luar lingkup di atas, RPerpres yang disusun adalah baseless alias tidak memiliki dasar hukum,” tegasnya.
Namun, Hendardi menilai dari draft yang beredar, Rancangan Perpres yang disusun pemerintah justru keluar jalur, dan melampaui substansi norma pada Pasal 43I UU Pemberantasan Terorisme. Bahkan, rancangan peraturan tersebut dinilai melanggar Pasal 30 ayat 4 UUD 1945 dan Pasal 7 ayat 2 dan 3 UU 34/2004 tentang TNI.
“Apa yang disajikan dalam RPerpres tersebut merupakan gambaran nafsu TNI untuk merengkuh kewenangan baru yang melanggar Konstitusi,” katanya.
Menurutnya, Rancangan Perpres yang disusun pemerintah justru mengukuhkan peran TNI secara permanen dengan memberi tugas TNI memberantas terorisme secara berkelanjutan, dari hulu ke hilir, di luar kerangka criminal justice system.
Rancangan itu juga memberikan ruang pemberantasan terorisme dengan menggunakan pendekatan operasi teritorial, dan memberikan justifikasi pada penggunaan anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) yang merupakan dana penyelenggaraan otonomi daerah. Draft Perpres juga mengikis kewenangan konsultatif DPR dan kewenangan Presiden untuk mengeluarkan Keputusan Presiden terkait pelibatan TNI dalam operasi militer selain perang.
“Cara penyelundupan hukum yang diadopsi dalam Rancangan Perpres ini mengancam supremasi Konstitusi, mengikis integritas hukum nasional dan mengancam kebebasan sipil warga,” tegasnya.
Menurut Hendardi, draft Perpres ini juga berpotensi menyabotase tugas-tugas yang selama ini dijalankan oleh Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) yang merupakan leading sector dalam pencegahan dan pemulihan atau deradikalisasi dan merusak pemberantasan terorisme dalam kerangka sistem peradilan pidana, yang selama ini dijalankan oleh Polri.
Sebagai gambaran, Hendardi mengatakan, salah satu tugas TNI yang dalam Rancangan Perpres tersebut adalah pelaksanaan operasi teritorial dalam rangka penangkalan, sebagaimana diatur pada Pasal 4 ayat (2) berupa pembinaan ketahanan wilayah, bantuan kemanusiaan dan bantuan sosial fisik/non fisik, serta komunikasi sosial.
Selain tidak dikenal istilah penangkalan, rumusan operasi teritorial ini menjadi ancaman baru bagi kebebasan sipil warga.
Rumusan model ini hanya menggambarkan kehendak memupuk anggaran dan mengokohkan kembali supremasi militer dalam kehidupan sipil.
“Atas dasar itu, DPR dan Presiden Jokowi harus menolak RPerpres ini, apalagi dibahas di tengah Pandemi Covid-19, yang nyaris mempersempit ruang komunikasi publik dan komunikasi politik yang sehat. Memaksa mengesahkan RPerpres dengan rumusan sebagaimana draft yang beredar, DPR dan Presiden Jokowi dapat dikualifikasi melanggar UU dan melanggar Konstitusi,” katanya.