Jakarta – Kasus intoleransi beragama yang terus berulang di Indonesia dinilai mengkhawatirkan. Bukan hanya mengganggu kerukunan sosial, tetapi juga bisa menjadi pintu masuk lahirnya radikalisme dan terorisme jika dibiarkan tanpa penanganan serius.
Ketua Badan Pengurus SETARA Institute, Ismail Hasani, menegaskan bahwa tidak ada terorisme yang muncul secara tiba-tiba. Menurutnya, intoleransi sering kali menjadi langkah awal menuju ekstremisme kekerasan.
“Intoleransi adalah anak tangga pertama menuju terorisme. Ketika kita membiarkan intoleransi terjadi berulang, sebenarnya kita sedang menyemai radikalisme. Minimal, kita memberi ruang bagi aktor dan jaringan ekstremis untuk berkonsolidasi,” ujar Ismail dikutip dari laman jpnn.com, Rabu (27/8).
Lebih jauh, ia mengingatkan bahwa intoleransi tidak hanya mengancam persatuan bangsa, tetapi juga melemahkan modal sosial yang dibutuhkan untuk melaksanakan agenda pembangunan nasional.
“Kita tidak bisa membangun bangsa secara optimal kalau antar-anak bangsa justru saling berhadapan, apalagi saling memusuhi,” tambahnya.
Karena itu, Ismail mendorong pemerintah agar terus mengambil langkah konkret dalam menekan praktik intoleransi. Menurutnya, kementerian dan lembaga terkait seperti Kementerian Agama, Kementerian HAM, BNPT, hingga BPIP harus aktif menunjukkan kepemimpinan yang berlandaskan konstitusi.
“UUD 1945 menjamin kebebasan seluruh warga negara untuk beragama, berkepercayaan, dan beribadah. Pemerintah harus memastikan jaminan itu benar-benar terlaksana, termasuk bagi kelompok minoritas,” tegasnya.
Kasus intoleransi sendiri belakangan memang kembali marak. Pada 27 Juni 2025, sebuah vila di Cidahu, Sukabumi, Jawa Barat, dirusak massa ketika sekelompok anak dan remaja Kristen tengah melakukan retret. Video pembubaran ibadah itu sempat viral di media sosial.
Hanya sebulan berselang, insiden serupa terjadi di Kota Padang. Sejumlah warga membubarkan ibadah di rumah doa Jemaat Gereja Kristen Setia Indonesia (GKSI) di Kelurahan Padang Sarai, Kecamatan Koto Tangah. Aksi tersebut menimbulkan kepanikan jemaat, termasuk anak-anak, bahkan disertai perusakan fasilitas.
Fenomena ini, kata Ismail, menjadi alarm keras bahwa intoleransi tidak boleh dipandang sebagai insiden biasa. Jika dibiarkan, ia bisa berubah menjadi ancaman yang lebih serius bagi kehidupan berbangsa.
Damailah Indonesiaku Bersama Cegah Terorisme!