Jakarta – Tuhan menciptakan manusia berbeda-beda. Itu tercantum dalam beberapa ayat dalam kitab suci Al Quran. Karena itu tidak ada jalan lain, kita harus menghormati dan menghargai perbedaan yang ada di Bumi Indonesia dengan berlapang dada. Bahkan kemerdekaan Indonesia terjadi karena bersatunya berbagai suku, agama, budaya, dan bahasa di Nusantara, setelah berhasil mengusir penjajah.
“Kebhinnekaan itu harus kita hargai dalam diri kita masing-masing, jangan ada pemaksaan. Juga harus ada toleransi otentik yang tidak dibuat-buat. Apalagi dalam Al Quran disebutkan bahwa Allah SWT menciptakan manusia berbeda-beda,” kata mantan Ketua PP Muhammadiyah, Ahmad Syafii Maarif di Jakarta, Selasa (25/7/2017).
Menurut Buya, panggilan karib Syafii Maarif, salah ayat Al Quran yang sangat jelas tentang perbedaan itu termaktub dalam surat Al Hujurat ayat 13 yang artinyanya “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
“Bahkan ada dalam bacaan salah satu ayat Al Quran disebutkan, orang atheis pun berhak hidup di atas bumi. Artinya perbedaan itu adalah hak, sehingga kita harus saling menjaga, bukan saling meniadakan,” tukas Buya.
Ia sadar dengan maraknya radikalisme dan terorisme itu, banyak ayat-ayat Al Quran yang salah ditafsirkan. Ironisnya, penafsiran yang salah itu digunakan untuk ‘meracuni’ orang lain agar mengikuti ideologi kekerasan ala kelompok radikal.
“Itulah persoalannya. Saat ini banyak orang islam yang ikut kelompok teroris. Harus diakui saat ini peradaban islam tengah berada di titik nadir. Orang yang kalah gampang kalap. Harusnya supaya tidak kalap, mereka belajar agama yang benar dan berlapang dada. Coba saja cari di Al Quran, apakah islam mengajarkan teror? Tidak ada. Memahami Al Quran itu harus dilihat secara keseluruhan karena di sana ada benang merah, bukan dengan pemahaman yang dangkal dan sepenggal-sepenggal,” jelas Buya Syafii Maarif.
Ia melanjutkan, Al Quran lebih dulu mengajarkan tentang keragaman umat manusia itu dibandingkan dengan Bhinneka Tunggal Ika digaungkan di Indonesia oleh Mpu Tantular sekitar abad ke-14. Karena itu tidak ada alasan bagi bangsa Indonesia untuk mempersoalkan perbedaan.
Menurutnya Al Quran itu sangat toleran, begitu juga dengan islam. Karenanya tidak logis bila kelompok-kelompok radikal seperti ISIS atau Boko Haram di Nigeria mengklaim mereka sebagai orang islam.
“Mereka menggunakan ajaran dari peradaban Arab yang sedang kalah, bukan ajaran islam. Saya menyebutnya rongsongkan peradaban Arab. Ironisnya, rongsokan peradaban yang sudah kalah di Arab itu, justru ‘dibeli’ di sini. Bodoh sekali mereka itu. Semua terjadi karena wawasan, bacaan, dan pergaulan mereka terbatas,” ungkap pendiri Maarif Institute ini.
Buya Syafii mengakui bicara terorisme itu sangat melelahkan. Ia melihat terorisme di Indonesia dipicu dua faktor. Pertama ketimpangan sosial ekonomi yang parah sehingga seperti memunculkan rumput kering atau jerami kering yang mudah terbakar. Ini terjadi karena terlalu dominannya asing menguasai ekonomi kita.
“Saya khawatir betul karena ledakan ekonomi yang membuat kesenjangan terlalu jauh akan berbuntut prahara sehingga apa yang kita bangun selama ini akan berantakan,” papar Buya.
Dalam hal ini, Buya memuji kebijakan Kepala BNPT Komjen Pol. Drs. Suhardi Alius, MH, yang menggunakan pendekatan dengan bahasa hati dan ekonomi dalam menjalankan penanggulangan terorisme, terutama dalam mendekati dan merangkul mantan kombatan. Salah satunya peresmian masjid Baitul Muttaqien dan Taman Pendidikan Anak (TPA) di kampung bomber Bom Bali, Amrozi cs yang dikelola Yayasan Lingkar Perdamaian yang dipimpin mantan teroris, Ali Fauzi, beberapa hari lalu.
“Pendekatan berbahasa hati dan sosial ekonomi lebih utama. Mereka anak-anak kita, bangsa kita yang mentalnya labih dan rentan pengaruh dari luar. Pendekatan inilah yang membuat kelompok radikal sekarang terlihat agak jinak,” pungkas Buya Syafii Maarif.