Sepanjang 2018, Markas Kepolisian Selalu Jadi Target Aksi Teror di Indonesia

Sepanjang 2018, Markas Kepolisian Selalu Jadi Target Aksi Teror di Indonesia

Jakarta – Sepanjang tahun 2018 aksi teror di Indonesia selalu menyasar langsung markas kepolisian sebagai target utama.

Aksi teror bermula dari amukan sejumlah narapidana dan tahanan kasus terorisme di Rumah Tahanan Markas Komando Brigade Mobil di Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat pada 8 Mei 2018.

Lima hari setelah insiden itu, teror bom bunuh diri terjadi di tiga gereja di Surabaya, Jawa Timur pada 13 Mei 2018.

Pasca peledakan bom di Gereja Santa Maria Tak Bercela, GKI Diponegoro, dan Gereja Pentakosta, Surabaya, teror juga terjadi di Mapolda Riau. Sejumlah aksi teror itu memakan korban jiwa.

Pada 8 dan 9 Mei 2018, kerusuhan pecah di Mako Brimob, Depok, Jawa Barat. Narapidana kasus terorisme menguasai blok yang ada di Rutan Mako Brimob.

Dalam kerusuhan itu, enam polisi sempat dijadikan sandera. Lima diantaranya meninggal dunia. Satu tahanan teroris juga meninggal dunia karena insiden tersebut.

Brigadir Kepala Iwan Sarjana dari satuan Densus 88 Antiteror sempat disandera oleh napi teroris di Mako Brimob selama lebih dari 24 jam. Namun, Dia dibebaskan dalam keadaan hidup tapi dengan luka di sekujur badan pada Kamis (10/5) dini hari, sekitar pukul 01.00 WIB.

ISIS, seperti dikutip kantor berita Amaq News Agency, mengklaim kerusuhan itu melibatkan anggotanya yang ditahan di dalam. Polisi membantah klaim tersebut dan teori-teori yang berkembang seputar penyanderaan tersebut.

Baca juga : Kapolri: Tahun 2018, Jumlah Pelaku Teror yang Ditangkap Naik 113%

Usai kejadian itu, 145 narapidana teroris dipindahkan dari Mako Brimob ke Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.

Teror berikutnya yang menyita perhatian masyarakat terjadi selang lima hari kerusuhan Mako Brimob. Bom diledakkan di tiga Gereja di Surabaya, Gereja Santa Maria Tak Bercela, GKI Diponegoro, dan Gereja Pentakosta.

Bom pertama meledak Minggu (13/12) sekitar pukul 07.30 WIB di Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela, Jalan Ngagel Madya Nomor 1, Baratajaya, Kecamatan Gubeng. Selang lima menit, bom meledak di gereja GKI di Jalan Diponegoro, dan Gereja Pantekosta di Jalan Arjuno.

Empat orang tewas akibat ledakan bom di depan Gereja Santa Maria, dua orang tewas di gereja Pantekosta serta dua orang tewas lainnya di depan gereja GKI.

Peristiwa pengeboman itu langsung menyita perhatian Presiden Joko Widodo. Bersama Kapolri Jenderal Tito Karnavian dan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto langsung terbang ke lokasi pengeboman.

“Terorisme adalah kejahatan terhadap kemanusiaan dan tidak ada kaitannya dengan agama apa pun. Semua ajaran agama menolak terorisme apa pun alasannya,” kata Jokowi ketika itu.

Jokowi memerintahkan Polri untuk mengusut tuntas jaringan-jaringan pelaku dan saya perintahkan untuk membongkar jaringan itu sampai akar- akarnya.

Bahkan, Jokowi menyebut tindakan pengeboman itu merupakan tindakan pengecut.

Polisi mengidentifikasi pelaku pengeboman di tiga gereja merupakan keluarga Dita Oepriarto. Bersama istrinya PK, dan empat anaknya FS (12), VR (9), YF (18) dan FH (16).

Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyebut Dita Oepriarto, pengebom gereja di Surabaya, merupakan pimpinan Jamaah Ansarut Daulah (JAD).

Malam 13 Mei, polisi menggerebek Rumah susun sewa sederhana Wonocolo, Surabaya. Bom rakitan milik pelaku meledak. Pelaku masih memiliki hubungan kekerabatan dengan keluarga Dita Oepriarto. Dalam insiden tersebut, tiga orang tewas yang merupakan ayah, ibu dan anak sulung mereka. Tiga anak lainnya mengalami luka.

Teror bom di Surabaya berlanjut. Pada 14 Mei 2018, bom meledak di Mapolrestabes Surabaya. Dalam aksi tersebut, dilakukan oleh satu keluarga, sepasang suami istri dengan tiga orang anaknya mendatangi Polrestabes Surabaya dengan menggunakan sepeda motor. Tepat di palang gerbang masuk Polrestabes Surabaya, bom meledak.

Empat dari lima pelaku teror bom tewas di tempat. Seorang anak kecil berjenis kelamin perempuan yang diketahui sebagai anak dari pelaku teror bom selamat.

Serangan teror berpindah dari Surabaya ke Riau, selang dua hari kemudian. Pada 16 Mei 2018, lima orang terduga teroris menggunakan Toyota Avanza

putih merangsek hendak ke halaman Mapolda. Empat orang turun dari mobil dan menyerang dengan menggunakan samurai

Seorang pelaku lagi sempat berusaha kabur dengan membawa mobil, dan menabrak seorang polisi bernama Inspektur Dua Auzar. Pelaku teridentifikasi anggota dari jaringan JAD.

Serangkaian aksi bom bunuh diri di Surabaya diduga didalangi kelompok JAD, kelompok yang dibentuk terpidana kasus terorisme Aman Abdurrahman pada akhir 2014 di Lapas Kembangkuning Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.

Berdasarkan berkas persidangan Aman Abdurrahman dalam kasus teror bom Thamrin, JAD disebut kelompok antek ISIS di Indonesia. Aman sering disebut sebagai pemimpin ISIS Indonesia.

Akhir tahun 2010, Aman divonis sembilan tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat karena terbukti membantu pelatihan militer di Pegunungan Jalin Jantho, Aceh Besar. Ia bebas dari penjara pada Agustus 2017 setelah mendapatkan remisi bersamaan dengan HUT RI ke-72.

Empat hari sebelum kebebasannya, ia dijemput oleh Densus 88 dan ditahan di Mako Brimob karena dugaan keterlibatan dalam kasus bom Thamrin. Aman Abdurrahman dianggap ikut merancang dan membantu lima aksi terorisme sejak tahun 2009.

Penangkapan Aman pada Agustus 2017 terkait dengan keterlibatannya ikut merencanakan serangan bom Thamrin dari dalam penjara. Ia diduga memanfaatkan waktu kunjungan saat masih berada di lembaga pemasyarakatan Nusakambangan untuk bertemu dengan para pelaku serangan bom Thamrin seperti Sunakim dan Ali.

Pada tahun 2018, Aman menjalani sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Persidangan Aman dikawal ketat polisi.

22 Juni 2018, majelis hakim menjatuhi hukuman mati kepada Aman karena terbukti bersalah terlibat kasus bom Thamrin.

Aman dinilai melanggar Pasal 14 juncto Pasal 6 Perppu Nomor 1 Tahun 2002 yang telah ditetapkan menjadi UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.