Jakarta – Seniman dari Jakarta, Bandung, dan Cirebon menyuarakan
toleransi beragama dan berkeyakinan lewat karya seni. Seni disebut
sebagai bahasa universal dalam menyuarakan toleransi.
Sebanyak 37 seniman menyelenggarakan sejumlah pertunjukan seni di
Jakarta, Bandung dan Cirebon. Para seniman itu tergabung ke dalam
program Strengthening Interfaith Forum and Youth Engagement in
Indonesia to Promote Tolerance (SHIFT). Program ini diselenggarakan
sejumlah organisasi yakni Search for Common Ground, Freedom House,
USAID, dan Campaign.
Hasil pertunjukan seni dari berbagai budayawan itu ditampilkan dalam
acara ‘Satu Akar, Ragam Rupa: Budayawan Muda untuk Toleransi’ yang
dihelat di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat. Acara ini juga
memperingati Hari Toleransi Sedunia yang jatuh pada 16 November
kemarin.
Manajer Komunikasi, Campaign, Laras Sabila Putri mengatakan para
seniman itu menyuarakan toleransi lewat seni karena bisa diterima
semua kelompok masyarakat. Dia mengatakan pertunjukan seni juga bisa
dilakukan oleh semua orang tanpa memandang latar belakang agama.
“Jadi seni itu sebenarnya bahasa yang sangat universal, yang bisa
diterima oleh seluruh masyarakat,” kata Laras di Taman Ismail Marzuki,
Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (17/11/2024)
“Mungkin kalau kita mikir, oh agama kamu, keyakinan kamu, nggak relate
satu sama lain, tapi kalau kita ngomongin lewat seni, orang jadi
relate gitu. Ternyata seni itu universal dan orang-orang bisa terlibat
di dalamnya, jadi tidak terbatas tidak terkotak-kotakkan,” ucapnya.
Dia berharap, lewat pertunjukan seni, nilai-nilai toleransi dan
inklusivitas bisa tersampaikan kepada masyarakat luas. “Harapannya
orang-orang bisa lebih terbuka, lebih toleransi, bisa lebih menghargai
satu sama lain, kita mencoba menciptakan lingkungan yang lebih
inklusif lagi dan lebih toleran lagi,” katanya.
Di tempat yang sama, Program Director Search for Common Ground, Anis
Hamim, mengatakan seni dan budaya bisa menjadi titik temu dalam
situasi konflik. Dia mengatakan pendekatan seni dan budaya cukup
efektif untuk mendamaikan pihak-pihak yang berkonflik.
“Dalam situasi konflik, budaya itu bisa bikin adem, semua bisa relate
dan merasa memilikinya,” kata Anis Hamim.
Dia mencontohkan, salah satu resolusi konflik di Ambon bisa dilakukan
lewat pendekatan seni dan budaya. Salah satunya lewat upacara tradisi
Pela Gandong.
“Saya kira kita saksikan dimana-mana, termasuk di Ambon, banyak
konflik yang kemudian bisa diselesaikan dengan pendekatan budaya, di
Ambon ada Pela Gandong, banyak pihak menyarankan pendekatan budaya,”
ucapnya.
Adapun Pakar Demokrasi dan Tata Kelola Pemerintahan USAID Indonesia,
Yahya Lumpin, mengapresiasi langkah yang dilakukan budayawan dalam
menyuarakan toleransi. Dia meyakini cara itu bisa mengatasi berbagai
persoalan keberagaman yang ada di Indonesia.
“Saya ingin menyampaikan selamat kepada 37 pemimpin muda dari berbagai
latar belakang, agama yang telah bersatu dalam program ini, selama
beberapa bulan terakhir, para pemimpin muda ini telah bekerja tanpa
kenal lelah, melalui kegiatan kreatif yang memadukan, seni digital dan
ekspresi budaya untuk mempromosikan kebebasan beragama dan
berkeyakinan dan toleransi,” kata Yahya.
“Karya mereka telah menjangkau khalayak, baik secara online maupun di
komunitas mereka, menunjukkan dampak mendalam yang dapat dihasilkan di
dalam kreativitas dan ekspresi budaya di dalam mendorong perubahan
sosial,” ucapnya