Jakarta – Hari Santri Nasional pada 22 Oktober lalu menjadi pengingat bagi semua akan pentingnya peranan pesantren dalam kontribusinya membangun karakter anak Indonesia. Relevansi pesantren ini juga didukung dengan adanya Undang-Undang Pesantren yang disahkan pada tahun 2019 lalu. Adanya Undang-Undang Pesantren itu menegaskan betapa pentingnya peranan santri dan pesantren dalam mencegah derasnya arus informasi yang seringkali ditunggangi kepentingan ideologi transnasional. Dengan semangat jihad, santri harus terus berkontribusi dan tetap tegas mengawal Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Ketua Rabithah Ma’ahid Islamiyah Penguru Besar Nahdlatul Ulama (RMI-PBNU) KH Hodri Ariev, menjelaskan bahwa Undang-Undang Pesantren bisa diartikan sebagai pengakuan dari negara atas eksistensi pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan di Indonesia dan telah berdiri dalam waktu yang sangat lama.
“Undang-Undang Pesantren merupakan wujud pengakuan resmi negara terhadap pesantren-pesantren Indonesia. Padahal di masa lalu, pesantren bukan hanya tidak diakui, tetapi juga dipinggirkan oleh penguasa. Rekognisi atas pesantren ini tentu menjadi salah satu entry point bagi pemerintah untuk mendukung pengembangan dan kemajuan pesantren di Indonesia,” ujar Kiai Hodri di Jakarta, Selasa (24/10/2023).
Kiai Hodri menerangkan, dengan turut serta membantu pesantren, sebenarnya pemerintah juga membantu pendidikan anak-anak bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia khususnya Pemerintah, harus melihat santri sebagai elemen generasi bangsa. Kalangan santri yang banyak terdiri dari anak-anak NU sama seperti anak-anak pada umumnya yang memiliki latar belakang organisasi atau keyakinan lainnya.
Menurutnya, rekognisi negara ini juga harus diterjemahkan dalam program yang melibatkan semua kementerian terkait dalam rangka memenuhi kebutuhan pesantren untuk kemajuan bangsa. Tanpa upaya menuangkannya ke dalam bentuk program, Undang-Undang Pesantren hanya akan indah di atas kertas dan dikhawatirkan akan kehilangan relevansinya.
Tantangan zaman yang semakin cepat bergerak dalam era disrupsi informasi seperti sekarang ini, lanjutnya, para santri juga perlu dibekali keterampilan teknologi yang dapat mendukung penerapan ilmu agamanya. Para santri diharapkan mampu memilah berbagai informasi di internet dengan jernih dengan melakukan analisis terlebih dahulu sebelum menentukan pendapatnya.
“Pada materi pembelajaran tafsir hadits, ada disiplin ilmu yang bernama musthalahul hadits. Disiplin ilmu ini membuat para santri terlatih untuk memahami segala sumber pemberitaan yang datang, apakah itu berita yang shahih (memiliki dasar yang kuat dan sumber yang terpercaya) atau maudhu (berdasar atau bersumber dari kedustaan),” terang Kiai Hodri.
Dengan bekal ilmu agama yang dimiliki, katanya, seorang santri diharapkan mampu bersikap bijak jika ia menemukan berita yang muatannya diragukan. Karakter santri yang ideal ditunjukkan dengan ketegarannya dalam menghadapi bujuk rayu ideologi transnasional.
“Saya tidak khawatir para santri akan terbawa pesan-pesan para teroris. Insya Allah mereka sudah cukup kuat untuk melawan godaan radikalisme maupun terorisme,” imbuh Hodri
Ia menguraikan, ideologi transnasional sendiri seringkali datang dalam berbagai bentuk. Bentrokan antara Palestina dengan Israel pun tidak lepas dari muatan-muatan yang digagas oleh para kaum radikal untuk menunggangi isu tersebut. Penjajahan Israel atas Palestina yang sebetulnya merupakan isu kemanusiaan, menjadi sarat dengan jargon-jargon agama yang dipaksakan masuk untuk memuluskan hasrat kelompoknya.
“Terkait meningkatnya eskalasi konflik Palestina-Israel, kita perlu mewaspadai adanya ‘penumpang gelap’ yang biasanya memanfaatkan konflik politik dengan framing agama. Konflik ini sangat kompleks dan rumit sehingga terkadang sulit bagi kalangan awam untuk membedakan apakah ini murni konflik agama atau sebenarnya konflik politik.”
“Kompleksitas masalah ini menempatkan ikhtiar-ikhtiar untuk mencari resolusi konflik pada posisi yang tidak mudah, karena usaha-usaha menjelaskan konflik sebagai konflik politik lebih mudah dicurigai dan dituduh pro-zionis,” tambah Kiai Hodri.
Dirinya mengingatkan bahwa demi mencari resolusi konflik ini, bangsa Indonesia harus kembali pada pesan luhur agama, yakni untuk mewujudkan perdamaian. Maka musuh agama dan ancaman yang sebenarnya adalah kezaliman terhadap kemanusiaan.
“Dengan demikian, kita perlu mengurai konflik ini dengan pendekatan kemanusiaan, perdamaian, dan agama sebagai rujukan moral dalam usaha memahami konflik yang ada dan terus berusaha mencari jalan keluar atas masalah yang terjadi,” jelasnya.
Kiai Hodri berharap para santri Indonesia dapat merekontekstualisasi semangat jihad yang diharapkan dapat berkontribusi bagi kemajuan NKRI di masa yang akan datang.
“Sesuai dengan makna jihad itu sendiri, para santri perlu melaksanakannya secara kontekstual dan sesuai dengan konteksnya. Jihad di masa perang adalah dengan mengangkat senjata. Jihad saat ini adalah dengan memiliki kesungguhan dalam belajar dan meningkatkan kompetensi diri, berkontribusi pada pemberdayaan masyarakat serta memberikan sumbangsihnya bagi Pesantren, NU, Bangsa, dan Negara,” pungkas Kiai Hodri.