Wellington – Selandia Baru kembali memperketat aturan terkait senjata api setelah insiden penembakan massal yang terjadi di dua masjid di Christchurch setahun silam dengan mengesahkan undang-undang kepemilikan senjata.
Undang-undang itu akan mulai berlaku pekan depan. Salah satu perubahan yang paling signifikan adalah kewajiban para pemegang senjata untuk meregistrasikan ulang senjata api yang baru dibeli atau hendak dijual.
“Undang-undang baru ini didesain untuk menghentikan senjata api jatuh pada tangan yang salah. Aturan ini untuk pertama kalinya menjabarkan bahwa memiliki senjata api adalah hak istimewa, terbatas hanya untuk pemegang lisensi yang bertanggung jawab,” kata Menteri Kepolisian Stuart Nash dalam pernyataannya sebagaimana dikutip Reuters, Kamis (18/6).
Perubahan lain dalam undang-undang senjata Selandia Baru adalah larangan memiliki senjata api berisiko tinggi seperti senapan semi-otomatis pendek, pengetatan aturan dealer senjata, dan mengurangi masa lisensi dari 10 tahun menjadi 5 tahun untuk pemegang baru.
Penembakan yang menewaskan 51 Muslim tahun lalu itu berlangsung di dua masjid di Christchurch. Pelakunya adalah pria kulit putih bernama Brenton Tarrant.
Dengan motif supremasi kulit putih, Tarrant memberondong tembakan senjata semi otamatisnya kepada jamaah. Ia akan dijatuhi hukuman tahun ini.
Pelaku penembakan masjid di Selandia Baru memiliki izin memegang senjata api akibat kesalahan polisi. Seorang sumber menyebut pelaku teroris 15 Maret 2019 ini lolos uji dan mendapatkan izinnya.
Dikutip di Stuff, pelaku yang mengaku bersalah atas penembakan massal terburuk Selandia Baru pada Maret tahun lalu ini, tidak diperiksa dengan benar oleh staf penyelidik polisi ketika ia mengajukan permohonan lisensi senjata api pada 2017.
Di antara kesalahan-kesalahan yang ada, salah satunya adalah polisi gagal mewawancarai seorang anggota keluarga sebagaimana disyaratkan. Alih-alih polisi mengandalkan hasil wawancara dua pria yang ditemui pelaki teroris melalui sebuah ruang obrolan di internet.
Kesalahan yang diabaikan ini memungkinkan seorang warga Australia menimbun senjata semi-otomatis dan kemudian digunakan untuk membunuh 51 orang.