Nusa Dua – Kapolda Bali, Irjen Pol Petrus Reinhard Golose menegaskan selama tahun 2019, Tim Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror telah melakukan penangkapan terhadap 315 terduga teroris di Indonesia. Ratusan terorisme ini berasal dari jaringan teror yang beroperasi melalui media sosial (medsos).
Penjelasan itu disampaikan Golose secara tertulis dan dibacakan Wakapolda Bali, Brigjen Pol Wayan Sunartha saat pelaksanaan Regional Counterterrorism Course yang berlangsung di Grand Hyatt Bali, Nusa Dua, Senin (13/1/19).
Irjen Pol Golose dalam kata sambutannya juga mengucapkan selamat datang kepada seluruh delegasi yang berasal dari negara peserta Malaysia dan Pilipina.
Diungkapkannya, seperti diketahui bersama perkembangan industri 4.0 (four point o) belakangan ini telah mendorong berkembangnya teknologi dan informasi hingga membawa era baru yang dikenal dengan era digital.”
Salah satu hal yang ditawarkan dalam era digital ini adalah kemudahan komunikasi melalui jaringan internet atau yang biasa disebut dengan cyberspace,” terangnya.
Golose menegaskan, komunikasi yang dilakukan di dalam cyberspace membuat komunikasi individu relative anonym, cepat dan menembus batas hingga mencapai tataran tanpa batas.
Sehingga manfaat perkembangan internet sangat luar biasa, dimulai dengan keunikan cara untuk membagikan informasi maupun ide.
“Teknologi ini juga dimanfaatkan oleh teroris untuk kepentingan mereka,” tegasnya.
Diterangkannya juga, dalam buku yang ditulis olehnya yakni invasi teroris ke Cyberspace disebutkan bahwa aktivitas terorisme adalah suatu kegiatan atau serangkaian kegiatan. Terdiri dari propaganda, perekruitan, penyediaan logistik, pelatihan, pembentukan paramiliter secara melawan hukum, perencanaan, pelaksanaan serangan teroris, persembunyian dan pendanaan.
Kegiatan tersebut, kata jenderal asal Manado Sulawesi Utara ini, dilakukan oleh teroris baik secara individu maupun kelompok. Dengan tujuan mempertahankan atau membangun organisasi terorisme, mempromosikan ideologi terorisme, menyebarkan ketakutan atau teror dan memaksakan mencapai tujuannya melalui tindakan kekerasan.
“Seiring dengan perkembangan teknologi informasi aktivitas terorisme tersebut dapat dilakukan dengan memanfaatkan teknologi informasi ini,” ujarnya.
Menurutnya, The Use Of Internet For the Terrorist Purposes tersebut dapat dilihat dari hasil investigasi yang dilakukan terhadap 315 orang tersangka jaringan terorisme selama 2019.
“Selama tahun 2019 ada 315 orang tersangka jaringan terorisme yang berhasil ditangkap. Dimana, mayoritas tersangka berasal dari jaringan teror yang beroperasi melalui media sosial,” tegasnya.
Ratusan teroris ini ditangkap berdasarkan hasil dari pengungkapan dan pencegahan aksi teror yang telah dilakukan pada sel-sel jaringan teror yang berasal dari sosial media dan mesengger.
“Terlihat bahwa mereka saat ini tidak butuh adanya metode taklim atau konsolidasi konvensional untuk meradikalisasi seseorang, mereka dapat memanfaatkan,” pungkas Golose dalam pernyataan tertulisnya.