Jakarta – Radikalisme yang berbuntut aksi terorisme seakan menjadi wabah menakutkan di seluruh dunia. Pasalnya, radikalisme itu dilakukan secara membabi buta demi untuk mewujudkan ambisi dan keinginan seseorang atau sekelompok orang, meski harus menggunakan cara-cara kekerasan. Ironisnya, radikalisme dan terorisme yang terjadi selama ini selalu menjadikan agama sebagai kendaraan untuk pembenaran tindakan mereka. Padahal, dalam semua agama tak satu pun yang mengajarkan kekerasan, apalagi sampai melakukan pembunuhan.
“Radikalisme itu sebuah musuh ideologi. Kalau dalam agama tentu ada mazhab, tapi Islam yang saya pelajari tidak pernah mengajarkan radikalisme, bahkan menentang. Islam itu agama damai, Islam itu agama penuh rahmat bagi seluruh semesta. Jadi pengeboman dan segala aksi terorisme itu bukan Islam tapi ajaran yang keliru penganut Islam. Mereka selama ini ‘membajak’ Islam untuk pembenaran aksinya,” ujar Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Prof. Dr. Syaiful Bakhri, SH, MH, di Jakarta, Selasa (22/10/2019).
Menurut Syaiful, ada dua isu lama yang berkembang terkait radikalisme. Pertama radikal yang berkaitan dengan ideologi di jaman orde baru (Orba) yang disebut dengan ideologi atau ekstrem kiri dan kanan. Saat itu, terorisme memang belum berkembang seperti sekarang. Ekstrem atau radikal kanan meliputi aliran dalam agama, khususnya Islam, sedangkan ekstrem kiri komunis. Pada masa Orba ini, perbincangan mengenai komunis tidak pernah ada respon sehingga itu seolah-olah telah berakhir.
Alhasil, saat ini isu radikal yang menonjol itu adalah ekstrem kanan, yang ironisnya ditujukan kepada umat Islam. Di sisi lain, isu radikalisme itu dijadikan dasar bahwa ada mazhab Islam internasional yang digunakan ISIS dan Jamaah Islamiyah (JI). Hal itulah yang akhirnya menimbulkan gangguan keamanan terhadap masyarakat internasional.
Di Indonesia, lanjut wakil ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammdiyah 2010-2015 ini, seluruh masyarakat dan negara terus memerangi radikalisme sebagai sebuah musuh ideologi. Tidak hanya umat Islam, seluruh penganut agama yang ada di Indonesia juga melakukan hal serupa. Sampai pada peristiwa penusukan Menko Polhukam Jenderal (purn) Wiranto beberapa waktu lalu.
“Itu bukan ajaran Islam, tapi ajaran pemeluk yang tidak paham Islam dan tersesat,” tukas Syaiful.
Lebih lanjut Syaiful mengatakan, untuk radikal atau ekstrem kiri, memang sempat muncul lagi melalui isu ada gerakan baru komunis. Tapi karena isunya tidak seksi dan tidak mendapat pemberitaan, isu itu kalah dari ekstrem kanan. Selain itu, eksrem kiri juga tidak harus menghadapi aturan negara seperti UU Ketahanan dimana menjadikan komunis sebagai musuh bersama sehingga secara legal mereka tidak mungkin berkembang.
Dari situlah, ungkapnya, isu berikutnya yaitu terorisme. Menurutnya, terorisme itu adalah sebuah gerakan, tidak atas nama ideologi, tetapi teror yang dilakukan seseorang atau kelompok yang tujuannya bukan semata-mata ingin mengganti ideologi, namun juga untuk menaku-nakuti dan merusak kewibawaan. Seperti kasus Wiranto, ia menilai itu adalah aksi individu yang sasarannya lambang negara, bukan pribadi.
Ia mengungkapkan, teror yang selam aini terjadi, lebih pada ketidakadilan, apakah itu hukum , politik, kemanusiaan, ekonomi, sosial budaya. Itula yang dinilai bisa membangkitkan setiap orang melakuan tindakan teror.
“Ini amat sulit dideteksi, paling mungkin pemerintah memperbaiki berbagai ketidakadilan yang ada. Saya yakin kalau keadilan sosial itu sudah terwujud, otomotis radikalisme dan terorisme akan sangat berkurang,” ungkapnya.
Syaiful menegaskan, semakin dimusuhi, mereka (teroris) akan makin kuat. Cara ideal untuk menangani mereka yang paling ideal yaitu dengan mengurai akar masalahnya. “Misalnya, tersanga penusukan gak bisa dituntut hukum semata, tapi harus dicari akarnya kenapa ia melakukan itu. Dalam otak mereka pak Wiranto atau negara itu musuh mereka. Itulah yang terjadi sehingga kalau hanya penegakkan hukum, masalah itu tidak selesai dan tidak ada yang menang atau kalah,” tegas Syaiful.
Untuk itulah, Syaiful menyarankan agar pengungkapkan kasus tersebut juga harus jujur dan adil. Itu penting agar akar masalah itu juga bisa terungkap dan bisa dicari jalan penyelesaiannya.
“Tidak boleh by design. Apalagi banyak orang yang mengira kasus itu by design. Makanya benar atau tidak perkiraan itu, sejarah yang akan membuktikan yaitu pengadilan yang jujur. Dari situ nanti akan diketahui, siapa yang berada di balik kasus ini, juga hubungan sebab akibat pelaku. Itu yang mesti diungkap,” jelasnya.
Intinya, kata Syaiful, melawan radikalisme dan terorisme tidak hanya dengan kerasnya penegakkan hukum, tetapi bisa berhasil bila dilawan dengan kemuliaan dan kehebatan Pancasila sebagai ideologi tunggal Bangsa Indonesia.
“Bagaimana memberikan pemahaman Pancasila. Jangan sekadar mengatakan aku Pancasila, aku NKRI. Bohong kalau hanya perkataan, tetapi harus dengan pemahaman. Sama dengan agama, mengajak orang beriman tidak mudah dan butuh waktu yang lama dan terus menerus,” pungkas Syaiful Bakhri.