Sekolah Rakyat Kupang dan Cerita Toleransi Seorang Muslimah

Sekolah Rakyat Kupang dan Cerita Toleransi Seorang Muslimah

Jakarta — Di tengah mayoritas yang berbeda keyakinan, Anisa Saharia menemukan ruang aman untuk tumbuh. Siswi Sekolah Rakyat Menengah Pertama (SRMP) 19 Kupang, Nusa Tenggara Timur, itu menjadi satu-satunya pelajar Muslim dari 100 siswa yang menempuh pendidikan di sekolah berasrama tersebut. Namun, perbedaan tidak membuatnya terasing—justru menghadirkan pengalaman toleransi yang hidup dan nyata.

SRMP 19 Kupang saat ini menampung empat rombongan belajar dengan komposisi siswa yang didominasi pemeluk Protestan dan Katolik. Dalam keseharian, keberagaman itu tidak menjadi sekat. Saat azan berkumandang dari mushola sekolah, aktivitas belajar seketika terhenti. Kelas menjadi hening, dan Anisa diberi ruang penuh untuk menunaikan ibadahnya.

“Kalau azan, guru bilang berhenti dulu. Teman-teman juga diam,” tutur Anisa, Senin (15/12/2025).

Bagi Anisa, perhatian kecil semacam itu memiliki makna besar. Ia juga mendapat pendampingan rutin dari guru agama Islam yang datang setiap Jumat. Kepala sekolah pun memastikan keyakinannya tetap dihormati, termasuk dengan memintanya terus mengenakan jilbab meski ia satu-satunya muslimah di asrama.

Di balik ketenangannya kini, Anisa menyimpan kisah hidup yang tidak mudah. Anak ketujuh dari delapan bersaudara itu kehilangan ayahnya sejak usia empat tahun. Ibunya kemudian pergi merantau ke Kalimantan tanpa kabar ketika Anisa masih duduk di kelas tiga sekolah dasar. Sejak saat itu, hari-harinya diisi dengan pekerjaan rumah, merawat keponakan, hingga mengumpulkan besi bekas untuk dijual.

“Kalau besi Rp 3.000 per kilo, seng Rp 1.000,” ujarnya lirih.

Untuk bersekolah, Anisa harus berjalan kaki, kerap tanpa sarapan dan makan siang. Ia tak pernah mengeluh. Dunia remajanya seolah berhenti di rumah kontrakan sederhana di Desa Oeteta, Kecamatan Sulamu, Kabupaten Kupang.

Perubahan datang ketika ia diterima di Sekolah Rakyat—program pendidikan berasrama yang diinisiasi Presiden RI Prabowo Subianto melalui Kementerian Sosial bagi anak-anak dari keluarga miskin. Sejak itu, hidup Anisa beralih arah.

“Alhamdulillah, sekarang saya tidak jadi beban kakak,” katanya.

Di SRMP 19 Kupang, Anisa tak lagi harus bekerja sepulang sekolah. Ia belajar dengan tenang, makan teratur, tidur di kasur yang layak, serta mengenakan seragam dan sepatu baru. Bagi Anisa, menu sederhana yang tersaji setiap hari di asrama adalah kemewahan yang dulu sulit ia bayangkan.

Lebih dari fasilitas, sekolah rakyat memberinya rasa memiliki. Ia belajar, makan, dan berdoa bersama teman-teman yang berbeda iman dan budaya. Tak ada yang menonjolkan perbedaan—yang tumbuh adalah persaudaraan.

Di bawah matahari Kupang yang terik, kisah Anisa menjadi potret kecil Indonesia. Tentang bagaimana toleransi bukan hanya slogan, melainkan praktik sehari-hari. Tentang pendidikan yang tidak sekadar mengajar, tetapi juga memulihkan harapan dan membuka jalan menuju masa depan yang lebih manusiawi. “Terima kasih ada Sekolah Rakyat untuk beta,” ucap Anisa. “Beta harap Sekolah Rakyat terus ada.”