Banda Aceh – Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal memiliki
tanggung jawab besar dalam membangun generasi yang berpikiran terbuka,
toleran, dan menghargai keberagaman. Namun dalam beberapa kasus,
kebijakan sekolah justru bisa menjadi pintu masuk bagi berkembangnya
paham intoleransi. Itu karena kebijakan internal terlalu permisif,
kurang kontrol, dan minim penguatan kebhinekaan.
Abdul Malik, Redaktur Pelaksana Pusat Media Damai mengungkapkan
fenomena ini tidak selalu disadari. Tetapi dampaknya bisa menjadi
sangat signifikan terhadap pandangan dan perilaku siswa.
“Kalau sekolah mempunyai kebijakan yang tidak terlalu ketat terhadap
masuknya orang luar, dan orang luar tersebut bisa mengajar bahkan
menjadi pendamping ekstrakulikuler tanpa verifikasi dan filter yang
kuat, itu bisa menjadi pintu masuk paham radikal terorisme,” ungkap
Malik.
Pernyataan diucapkan Abdul Malik saat menjadi narasumber pada kegiatan
Pelatihan Guru Dalam Rangka Menumbuhkan Ketahanan Satuan Pendidikan
Dalam Menolak Paham Intoleransi, Kekerasan dan Bullying di SMKN 2
Banda Aceh (30/10/2024).
Tak hanya itu, menurut Malik, kegiatan ekstrakurikuler yang minim
kontrol sering dimanfaatkan oleh kelompok radikal dari luar dengan
proses mentoring, kaderisasi dan pelatihan, karenanya perlu pengawasan
dari pihak sekolah.
“Pastikan pendamping ekskul adalah orang dari sekolah, jangan ijinkan
orang luar sekolah bebas keluar masuk lingkungan sekolah, mentor dari
luar harus didampingi dari pihak internal sekolah,” ungkapnya.
Kurikulum operasional satuan pendidikan, lanjut Malik, harus memiliki
visi dan misi yang bermuatan penguatan kemajemukan dan kebangsaan.
“Kalau SOP kurikulum pembelajaran lemah dalam penanganan kebhinekaan,
maka hal itu mudah disusupi, namun jika kebhinekaan itu menjadi budaya
di sekolah, maka paham radikal terorisme tidak akan masuk ke dalam
lingkungan sekolah”, ungkapnya.