Jakarta – Seorang anak harus dididik sejak dini untuk mengenal dan bersikap ramah dengan perbedaan. Oleh karena itu sekolah harus menjadi lembaga yang bisa melembagakan nilai toleransi terhadap perbedaan. Tentu, tidak sekedar desain kebijakan dan kurikulum, sekolah harus menyediakan ruang kondusif bagi tumbuhnya pola pikir dan pandangan anak didik yang ramah terhadap perbedaan.
Komisoner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Dr. Nahe’i, M.H.I, mengatakan ada dua aspek yang perlu menjadi perhatian agar sekolah bisa menjadi lembaga yang bisa melembagakan nilai toleransi terhadap perbedaan. Pertama kebijakan pendidikan ditingkat pusat berkaitan dengan “standar kompetensi” nasional khususnya yang berkaitan dengan keagamaan. Kedua kebijakan di tingkat lembaga pendidikan masing-masing.
“Sesungguhnya di tingkat kebijakan pusat sudah ada upaya-upaya untuk mencegah radikalisme yang berdampak pada intoleransi dalam beraagama, yaitu konsep moderasi beragma yang digawangi oleh Kementerian Agama,” ujar Dr. Nahe’i, M.H.I, di Jakarta, Selasa (9/2/2021).
Namun Nahe’i melihat hal itu hanya terbatas di perguruan tinggi, khusunya perguruan tinggi Islam. Makanya di beberapa perguruan tinggi Islam ada wadah yang disebut dengan rumah moderasi beragama.
Menurutnya hal ini perlu diapresiasi, sekalipun belum menjadi gerakan yang massif. Ia berharap ada kebijakan baik dilingkungan Kementerian Agama (Kemenag) maupun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tentang keharusan moderasi beragama mulai dari pendidikan paling bawah.
”Nilai-nilai toleransi, penghormatan terhadap keragaman harus ditanamkan sejak usia anak-anak. Salah satu kebijakan itu antara lain bagaimana menetapkan standar kompetensi sekolah. Seharusnya ada indikator sikap keberagamaan yang lebih subtantif, tentang nilai-nilai universal seperti keadilan, kemanusian, kesetaraan, saling menghormati, kesadaran keragaman sebagai sunnatullah, dan lain-lain,” ucapnya.
Lebih lanjut, Nahe’i meyayangkan bahwa saat ini standar kompetensi keagamaan dan religius itu hanya diukur oleh pelaksanaan ibadah-ibadah formal dari masing-masing agama. Menurutnya, jika standar religius diukur oleh ibadah-ibadah formal saja justru akan berdampak pada sikap eksklusifitas dalam beragama.
“Inilah akar radikalisme itu. Karena semua siswa akan merasa bahwa ibadahnya-lah yang paling benar, dan yang lain salah. Kemudian dari aspek kebijakan di tingkat sekolah. Saya kira juga sama, harus mengubah standar kompentesi religiusitas siswa dengan kesalihan sosial seperti keadilan, penghormatan martabat manusia, hak-hak asasi manusia dan sebagainya. Bukan semata keshalihan ritual individual,” ungkapnya.
Selain itu, ia juga menyarankan adanya pelatihan pagi para pendidik di sekolah tentang moderasi beragama. Karena menurutnya, menuju pada sikap ramah terhadap perbedaan, diperlukan pemaham yang baik terhadap ajaran-ajaran agama.
“Menghadirkan tafsir agama yang komprehensif mendalam, khususnya bagi pendidik menjadi penting. Sehingga mereka tidak gamang untuk bersikap ramah terhadap orang lain yang berbeda,” tuturnya.
Ia mengungkapkan bahwa hingga saat ini dirinya melihat banyak pendidik yang hanya bersikap toleran pasif, hanya karena ada aturan di sekolah, bukan berangkat dari kesadaran bahwa itu bagian dari ajaran agama. Tapi bila tenaga pendidk sudah memiliki sikap dan kesadaran akan adanyaa perbedaan dan keharusan saling menghormati, maka selanjutnya bagaimana mensosialisasikan itu kepada anak didiknya.
“Di sisi lain perlu memasukkan moderasi beragama dalam kurikulum pendidikan atau menjadi perspektif setiap pendidik,” jelasnya.
Apalagi menurutnya, persaudaraan antar iman sebetulnya telah dicontohkan oleh generasi sebelumnya. Namun ia menyebut bahwa contoh saja tidak cukup, karena untuk terinternalisasi dalam kesadaran, diperlukan penanaman ideologi yang kuat tentang pentingnya persaudaraan dan penghormatan terhadap perbedaan.
“Sekarang terbukti, dengan doktrin-doktrin dari pendidik yang mengajarkan Islam atau beragama yang eksklusif, akhirnya anak didik mulai menyalahkan orang tuanya yang mengajarkan persaudaraan, meyalahkan guru-gurunya dan pendahulunya,” ucapnya.
Oleh sebab itu, Nahe’i menyebut bahwa secara formal apa yang telah diputuskan dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri ini menjadi kesepakatan nasional untuk tujuan yang baik, yaitu menjaga keragaman dan saling menghormati.
“Secara subtantif, saya melihat bahwa negara atau lembaga pendidikan seharusnya memang tidak mengatur apalagi mewajibkan sesuatu yang hakikatnya sudah diwajibkan dan diatur oleh agama. Biarlah ia menjadi domain agama yang bersangkutan,” ucap peraih Doktoral Hukum Islam darii Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya itu.
Ia memberikan contoh yang sederhana, dimana ketika lembaga pendidikan yang dibawah naungan Pemerintah Daerah mewajibkan muridnya busana tertentu kepada maayoritas, maka yang minoritas di minta menyesuaikan.
“Yang dimaksud menyesaikan dalam aturan itu biasanya adalah minoritas menyesuaikan kepada mayoritas. Di sinilah diskriminasi terjadi, dan di sini pula potensi intoleransi muncul,” katanya.
Karenanya, dengan adanya SKB tiga menteri ia menyambut baik momentum ini khususnya bagi lembaga pendidikan negeri untuk menanamkan sikap keberagamaan yang lebih substantif. Bukan menekankan model beragama kulit yang hanya dari penampilan luar saja.
“Maka kembali ke awal, lembaga penting mendesain, kurikulum, standar kompetensi yang ingklusif, menghormati hak asasi manusia, keragaman gender. Di samping itu penting juga mendekatkan anak didik pada guru-guru/dai-dai yang toleran,” pungkas Nahe’i.