Jakarta – Bangsa Indonesia tengah menyambut datangnya pesta demokrasi yaitu Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 mendatang. Saat ini kondisi masyarakat pun sudah mulai ‘gaduh’ yang dipicu perang propaganda yang dilakukan masing-masing kubu. Alhasil, fitnah, hoax, ujaran kebencian, terus berseliweran, terutama media sosial (medsos) di jagad maya.
Ironisnya, masyarakat sebagai obyek ‘perang’ antar kubu tidak sadar, bahwa upaya-upaya itu justru bisa memicu akibat yang lebih besar lagi. Artinya ‘perang’ kata-kata dan tagar ini bisa memicu perpecahan, tidak hanya di masyarakat, tapi perpecahan bangsa Indonesia. Kondisi ini seharusnya tidak perlu terjadi, bila masing-masing kubu-kubu menggunakan promosi kebaikan para calonnya, bukan saling serang kejelekan lawan politiknya.
Pakar Komunikasi Politik dari Universitas Paramadina, Hendri Satrio mengajak seluruh masyarakat agar bijaksana bila berselancar di dunia maya. Menurutnya, masyarakat harus bertanggungjawab dalam mengelola medsos sehingga harus disampaikan informasi yang benar dan menyejukkan supaya dunia maya dan para penggiatnya lebih damai.
“Sampaikan hal positif, hindari menyebarkan hoax dan ujaran kebencian, apalagi fitnah. Jangan sampai kita tergabung dengan kelompok yang menginginkan Indonesia tidak damai dengan menyampaikan berita yang mengarah pada kekerasan dan perpecahan bangsa. Baik buruknya dan masa depan Indonesia tergantung dari kita semua. Jangan sampai gara-gara jempol kita, Indonesia pecah. Jadi bertanggungjawablah menggunakan medsos dan saat berselancar di dunia maya, untuk Indonesia yang aman, tenteram, dan damai. Bukan hanya untuk 2019 saja, tapi selamanya,” papar Hendri Satrio di Jakarta, Rabu (19/9/2018).
Seperti diketahui, menjelang masa kampanye Pilpres 2019, kedua kubu telah saling melancarkan ‘serangan’. Alhasil, suasana gaduh pun mulai terjadi di masyarakat. Hendri menilai, kondisi yang terjadi ini sebenarnya lumrah dan positif sebagai bagian pesta demokrasi. Ini menunjukkan masyarakat juga bergairah menyambut pesta demokrasi lima tahunan ini.
Namun, tentu saja ada hal yang harus disiapkan menuju ke pesta tersebut. Ia mencontohkan arena Pilpres 2019 seperti sebuah arena pertandingan sepakbola. Disana ada fans, kubu, pendukung, dan pemain.
“Intinya boleh ramai saat mendukung pemain bertanding di lapangan, tapi nanti kalau pertandingan sudah selesai, kedua kubu pun juga harus akur lagi dan damai. Itu yang harus kita siapkan. Artinya bagaimana mengkondisikan masyarakat kita bisa siap menang dan siap kalah dan menyikapi secara dewasa sebagai hasil dari pertarungan demokrasi yang fair,” jelas Hendri.
Ia mengakui, tantangan dengan keberadaan medsos ini luar biasa, apalagi dengan ‘gorengan-gorengan’ yang sudah ada dari berbagai isu. Kondisi ini diperkirakan hampir sama seperti Pilpres 2014 lalu, juga Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu. Karena itu kedewasaan masyarakat sebagai pemilik suara menjadi sangat penting, jangan sampai terlalu jauh saling sindir, saling colek, yang ujung-ujungnya bisa saling adu otot.
Pria yang juga founder lembaga survei KedaiKopi ini berharap hal ini tidak terjadi. Pasalnya, bila hal ini terjadi, ancaman yang lebih besar yaitu perpecahan bangsa bisa berada di depan mata bangsa Indonesia. Apalagi pada Pilpres 2019 nanti, kedua calon presiden sama dengan 2014 lalu. Fakta itulah yang menurutnya akan sulit mencegah residu yang terjadi pada 2014 dan 2017, tidak terbawa lagi pada 2019.
Hendri justru menyarankan kedua kubu untuk bijak saat berkampanye, baik secara konvensional maupun di dunia maya. Artinya, kalau mau mempromosikan masing-masing calon, tidak perlu menjelekkan calon yang lain. Jadi cukup mempromosikan kebaikan, k elebihan, dan kedigdayaan, calon yang didukung sehingga masyarakat pasti akan senang mendengarnya dan lebih penting tidak akan menimbulkan kebencian dan perpecahan.
Sekarang ini, ungkap Hendri, tantangannya ada medsos, hitungannya one man one media, jadi setiap orang bisa mengekspresikan lewat medsos. Apalagi sekarang ada tantangan terkait keberagaman, toleransi, dan pilihan politik, sehingga kalau ada pilihan politik berbeda bukan dihargai, tapi dicaci dan di bully. Padahal dengan perbedaan itu harusnya saling menghormati dan tidak tidak perlu mengeluarkan kebencian dan umpatan dengan kata-kata.
“Saya percaya kalau bicara politik hanya sampai dagu, gak sampai hati, kalau sampai dagu itu selesai, asal otaknya dingin. Kalau sampai hati susah, karena disana ada cinta dan benci,” tukas Hendri.
Hendri mengajak seluruh pihak untuk belajar dan melihat sejarah Indonesia. Dulu di Indonesia ada tiga kerajaan besar Sriwijaya, Majapahit, dan Singosari. Tiga kerajaan itu wilayahnya hampir sama dengan Indonesia saat ini. Namun tiga kerajaan akhirnya runtuh karena tidak mampu memelihara perdamaian dan persatuan.
“Ada bukti sejarah yang mengajarkan ke kita, bahwa Nusantara ini kalau tidak dijaga bersama bisa pecah,” pungkas Hendri Satrio.