Apresiasi Raja Saudi atas keberhasilan Indonesia menanggulangi terorisme dibuktikan dengan diundangnya 5 orang tua korban aparat yang gugur menumpas terorisme untuk menunaikan ibadah haji sebagai undangan Raja. Hal tersebut disampaikan oleh Abdul Asis al-Huwairiny, Direktur Umum Intelejen Kerajaan Saudi Arabia (BIN Saudi Arabia). Beliau menyampaikan undangan tersebut saat Abdul Asis menerima kunjungan delegasi BNPT RI yang dipimpin langsung oleh Kepala BNPT Komisaris Jenderal Polisi Drs Suhardi Alius, MH pada tanggal 10 sampai 17 Januari 2017 di Riyadh.
Pusat deradikalisasi Saudi Arabia bernama Muhammad bin Naif Center of Counseling and Care Center, dalam pusat konseling inilah para narapidana teroris yang telah menjalani masa tahanannya pada lembaga pemasyarakatan umum menerima berbagai macam pembinaan kepribadian dan pembinaan kemandirian. Saat delegasi berkunjung ke Pusat Konseling pada bagian depan terpasang banyak foto para petugas keamanan yang gugur sebagai syuhada dalam menumpas para teroris di Saudi Arabia.
Sama halnya dengan Indonesia dalam melakukan penindakan terhadap kelompok teroris, tidak sedikit aparat keamanan yang menjadi korban saat melawan kelompok teroris. Olehnya itu, saat kepala BNPT menyampaikan hal yang sama kepada Direktur Umum Intelejen Saudi Arabia, beliau memberikan apresiasi dan mengundang keluarga petugas yang tewas untuk datang menunaikan ibadah haji sebagai undangan Raja Saudi Arabia tanpa melalui proses daftar tunggu seperti calon jemaah haji lainnya.
Pada satu sisi, pemerintah kerajaan Saudi Arabia melihat dan menyaksikan bahkan mengakui strategi hard approach yang dijalankan pemerintah Indonesia sangat berhasil, tentu dengan berbagai kekurangan. Namun pada sisi lain, upaya pemerintah Indonesia menjalankan strategi soft approach belum maksimal ditunjang oleh regulasi dan keinginan kuat pemerintah dan masyarakat sipil secara umum, terutama regulasi secara internal kelembagaan dan regulasi eksternal substansial. Maksud regulasi internal kelembagaan adalah dasar hukum standing law lembaga negara yang menangani kejahatan luar biasa aksi terorisme, negara mempercayakan penanggulangan terorisme kepada BNPT, namun dasar hukum kelembagaannya masih menggunakan peraturan Presiden No 46 Tahun 2010.
Jika terorisme merupakan kejahatan luar biasa, maka segala upaya, strategi, kebijakan dan program tentu harus luar biasa pula, termasuk dasar hukum keberadaan lembaga harus diperkuat dari dasar hukum Perpres menjadi Undang-undang.
Maksud regulasi eksternal substansial adalah penyempurnaan naskah akademik undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang tindak pidana terorisme, hingga kini belum tuntas pembahasannya dari lembaga legislatif negara, kita berharap agar penyempurnaan undang-undang No 15 Tahun 2003 mengakomodir banyak masukan dari berbagai pihak guna meningkatkan upaya penanggulangan tindak pidana terorisme, bukan hanya harus berhasil menindak namun yang lebih utama adalah meningkatkan upaya pencegahan. Upaya penanaman kebencian dan penyebaran permusuhan merupakan benih-benih awal munculnya kelompok yang memiliki paham radikal anarkis yang selalu siap melakukan aksi pengebomam dan aksi bom bunuh diri.
Negara Saudi Arabia menjalankan tiga proses dalam menanggulangi aksi terorisme, yaitu prevention– pencegahan, rehabilitation– upaya merehabilitasi, after care– upaya pembinaan setelah menjalani proses hukuman. Sama halnya dengan Indonesia yang juga memiliki program deradikalisasi- pembinaan, deradikalisasi dalam lapas dan deradikalisasi di luar lapas. Secara konseptual antara strategi yang dijalankan pemerintah Kerajaan Saudi Arabia dengan pemerintah republik Indonesia memiliki banyak kesamaan, tidak jauh berbeda dengan strategi yang dioperasikan sebab pendekatan soft approach lebih dominan dari pendekatan hard approach.
Di samping persamaan yang dimiliki antara Saudi dengan Indonesia, perbedaan dalam menanggulangi terorisme antara keduanya adalah pemerintah kerajaan Saudi Arabia menyiapkan banyak anggaran mulai perencanaan, pelaksanaan hingga pengawasan, pembinaan dan evaluasi program deradikalisasi bagi warga binaan pemasyarakatan terorisme. Selain tersedianya anggaran yang besar, pelibatan akademisi yang terjun langsung berdialog dengan narapidana terorisme, seorang napi teroris ditangani paling tidak 10 orang Professor dari berbagai macam disiplin keilmuan yang berbeda, baik yang berasal dari dalam negeri maupun professor yang berasal dari luar negeri berdasarkan permintaan yang diajukan napi untuk berdialog langsung dengan pakar yang diinginkan.
Perbedaan lain adalah sarana dan prasarana yang telah dibangun oleh pemerintah kerajaan Saudi Arabia, sejak raja sebelumnya kemudian dilanjutkan oleh raja Salman membangun pusat deradikalisasi dengan nama ‘Muhammad bin Naif Center for Counseling and Care Center’, dalam pusat konseling inilah dilengkapi berbagai macam fasilitas, di antaranya fasilitas olah raga seperti kolam renang, futsal, fasilitas treadmill yang canggih, fasilitas kesehatan poliklinik dengan puluhan dokter umum dan dokter spesialis, demikian pula fasilitas berkreasi menuangkan gagasan dan ide dallam bentuk kukisan.
Demikian pula terdapat ruangan keluarga bagi yang memiliki isteri dan anak, mereka dapat berkumpul dengan anak isteri mereka, bahkan disiapkan ruangan khusus untuk beribadah dengan isteri mereka (bilik cinta-gurfatul mahabbah). Bukan hanya ruang kamar yang disiapkan, secara terpisah terdapat pula family house– rumah keluarga, bagi mereka yang mendapat kunjungan dari isteri dan anak-anak mereka baik yang tinggal dalam negeri Saudi Arabia maupun yang datang dari luar negeri seperti Yaman, Afganistan dll.
Pusat deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Republik Indonesia (BNPT RI), sementara berupaya mewujudkan lembaga pemasyarakatan khusus yang akan ditempati melakukan pembinaan keagamaan, kebangsaan, kewirausahaan dan psikologis. Belajar dari strategi pembinaan napi teroris yang dilakukan oleh pemerintah kerajaan saudi Arabia, beberapa pola yang dapat dilaksanakan seperti pola pembinaan Saudi pada pusat konseling dan lapas umum.
Melakukan strategi pembinaan seperti strategi yang dijalankan Saudi tentu masih jauh dari mencukupi, namun semangat menuju ke arah yang lebih mencerahkan, membina para napi teroris terus ditingkatkan. Tentu tidak mesti harus sama dengan strategi Saudi, sebab karakteristik radikalisme yang melahirkan terorisme di Saudi dan di Indonesia juga berbeda, meski kesamaannya adalah sama memiliki pemikiran yang keras, melawan pemerintah, solusi hanya holy war dalam memaknai jihad, dan konsep takfiri yang selalu mewarnai perbincangan dan pembahasan mereka.
Perlu dipahami bersama bahwa akar radikalisme di Indonesia adalah bertujuan mewujudkan dan mendirikan sistem pemerintahan yang bernama khilafah dengan merujuk pada lembaran sejarah masa lalu yang tidak komprehensif holistik, sebab bukan nama yang diutamakan akan tetapi merupakan anjuran membentuk pemerintahan. Sementara radikalis- al-Mutasyaddidun yang menjalani proses pembinaan di pusat konseling, mereka tidak memiliki ilusi dan keinginan mendirikan negara Islam di Saudi Arabia, sebab sejak awal Saudi Arabia telah berbentuk khilafah dengan sistem mamlaka-kerajaan, yang secara tekstual berwujud negara Islam.
Jadi para radikalis di Saudi bukan mengilusikan bentuk negara Islam seperti radikal anarkis di Indonesia yang selalu meneriakkan penegakan syariah dalam wadah negara Islam. Bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan syariat Islam telah ditegakkan, namun yang tidak boleh dipaksakan adalah formalisasi syariat Islam sebab negara Indonesia bukan negara agama, tetapi negara yang dibentuk dipertahankan dan dibangun oleh masyarakat yang beragama.