Kabar tewasnya pimpinan kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT) Santoso alias Abu Wardah memunculkan beragam reaksi, bukan hanya pro dan kontra; kabar tentang kematian Santoso dijadikan objek baru untuk penyebaran propaganda yang –seperti biasanya– selalu berisi glorifikasi berlebihan serta pesan-pesan kebencian terhadap pemerintah yang dianggapnya melawan kehendak tuhan. Tentang kematian, obyek yang biasa digunakan sebagai bahan propaganda adalah penampakan terakhir dari sang jenazah, yang kemudian dikatakan bahwa jenazah berbau wangi, bibirnya tersenyum, pemakamannya dihadiri banyak orang, termasuk juga berbagai peristiwa alam saat prosesi pemakaman yang sengaja diartikan secara berlebihan, seperti mendung yang membentuk tulisan Allah, dst.
Khusus untuk Santoso, jenazahnya dikatakan berkeringat. Beberapa media lantas mengartikan bahwa keringat yang keluar dari jenazah Santoso itu adalah bukti bahwa kematiannya telah ‘terbukti’ syahid. Keringat diartikannya sebagai tanda kehidupan, dan ini sesuai dengan janji Allah dalam alquran bahwa orang yang mati dalam keadaan syahid sesungguhnya tetap hidup di mata Allah (QS: 3:169). Keluarnya keringat dari mayat Santoso kemudian diartikan sebagai pertanda bahwa ia masih hidup. Kabar ini pun disebar melalui media-media, tentu disertai dengan glorifikasi berlebihan terhadap yang bersangkutan.
Kematian Santoso juga dibumbui dengan berita-berita heboh lainnya, termasuk bahwa mayatnya mengeluarkan bau wangi. Tentang mayat berbau wangi ini, ketua umum PP Muhammadiyah, Haedar Nasir menyebutnya sebagai penyakit media sosial dan komodifikasi mitos yang paling laku di media sosial. Ia bahkan menyebut muslim yang rasional dan hanif tidak akan percaya kabar-kabar yang seperti itu.
Dari sudut pandang media, glorifikasi berlebihan kerap ditujukan untuk menutupi fakta yang sebenarnya tentang seseorang (dalam hal ini Santoso) melalui pemberitaan yang sengaja dibesar-besarkan. Kesengajaan untuk begitu saja menggelari Santoso sebagai Syuhada atau Jihadis misalnya, jelas dimaksudkan untuk menutupi fakta berbagai kejahatan yang dilakukannya. Seperti, merampok bank BCA di Palu pada 2011, menembaki orang pada Agustus hingga November 2012, termasuk membunuh dua petugas polisi pada bulan yang sama. Tercatat sedikitnya 28 kasus kriminal, termasuk perampokan, pembunuhan dan peledakan bom yang dilakukan Santoso sejak 2004.
Glorifikasi berlebihan terhadap Santoso tampak jelas dimaksudkan untuk menutupi seluruh daftar kejahatannya itu. Atau bahkan, merubah status kejahatan itu menjadi semacam ibadah kebaikan. Kelakuannya merampok bank diartikan sebagai bagian dari jihad, kebiasaanya membunuhi orang tidak berdosa juga dimaknai sebagai upaya ibadah; semuanya itu dibungkus melalui pemberitaan-pemberitaan propagandis yang sesak dengan glorifikasi berlebihan dan hasutan kebencian.
Apa problem glorifikasi? Tentu banyak, selain tidak sesuai dengan fakta, glorifikasi berpotensi besar membodohi masyarakat. Mayat Santoso yang berkeringat, atau (katanya) berbau wangi tidak bisa dijadikan dasar untuk menentukan syahid tidaknya teroris itu. Hanya tuhan saja yang tahu tentang itu. Namun yang jelas, catatan kejahatan yang dilakukan Santoso bisa membantu menegaskan bahwa ia pelaku kejahatan, bukan pembela agama tuhan.
Glorifikasi juga menutupi fakta dengan kebohongan-kebohongan yang menyesatkan. Alih-alih mendapat kabar yang benar, masyarakat malah dijejali dengan beragam kebohongan. Akhirnya, masyarakat tidak mendapatkan fakta melainkan gombal belaka. Kini saatnya bagi kita untuk cerdas dan tegas terhadap beragam pemberitaan. Berhenti mempercayai kabar-kabar yang tidak sesuai dengan akal sehat, dan tetap ingat bahwa Jihad tidak boleh jahat.