Jakarta – Puluhan mantan narapidana terorisme (napiter) berusaha kembali menjadi bagian masyarakat dengan membuka bisnis rumah potong ayam. Bukan hanya mencari uang, di sini mereka juga saling menguatkan agar tidak kembali pada jaringan teroris, yang disebut seorang pengamat “tak bisa instan”.
Spanduk bertuliskan ‘Rumah Potong Halal DeBintal’ terpasang di antara pepohonan di kawasan pemukiman penduduk di Babelan, Bekasi, Jawa Barat. Sekitar 20 meter dari situ, terdapat rumah potong hewan yang baru jadi. Pasir-pasir membentuk gunung-gunung kecil, dan batu bata bertumpuk rapi. Beberapa bangunan di sekitarnya masih setengah jadi.
Hendro Fernando dan sejumlah mantan asyik berbincang di pelataran. Hendro lalu menunjukkan isi di dalam rumah potong ayam yang dinding dan atapnya didominasi bahan baja ringan.
“[Ayam] pejantan sebelah sana. Kita tutupi karena yang pejantan itu aktif. Ini yang kita beli tadi malam, untuk marketplace kita,” kata Hendro dikutip dari laman BBC Indonesia.
Hendro adalah Sekretaris Jenderal Yayasan DeBintal. Ia bebas dari penjara Oktober 2020 silam. Pengadilan menyatakannya bersalah karena menyokong sejumlah aksi terorisme.
Perannya sebagai pengatur logistik, khususnya bagi kelompok Mujahiddin Indonesia Timur (MIT) yang berafiliasi ke ISIS: pemasok senjata api, perekrutan, dan pemberangkatan 150 WNI ke Suriah untuk bergabung dengan pasukan ISIS periode 2014-2015.
Dana operasional untuk aksi terorisme sebesar Rp1,3 miliar, ia dapat dari Turki melalui tokoh ISIS di Suriah, Bahrum Syah.
“Semua kan proses ya. Artinya itu buah pemikiran saya dulu. Ketika amal-amal yang dulu kita lakukan itu adalah sebuah kebenaran, ternyata salah. Nah, artinya itu membuat saya menjadi menyesal,” kata Hendro.
Rumah potong ayam merupakan unit usaha dari Yayasan DeBintal. Yayasan yang dikelola sekitar 20 mantan teroris ini berada di bawah pengawasan Densus 88, dan dananya disebut berasal dari “sumbangan perorangan”.
“Sebenarnya ide itu [usaha potong ayam] nggak pernah ada di pikiran saya. Kok saya bisa bisnis ayam, dengan teman-teman alumni napiter. Alhamdulillah, ternyata Allah berkata lain,” lanjut Hendro.
Sejak dibuka Februari 2021, unit usaha potong ayam ini sudah punya pangsa pasarnya sendiri, yang ditawarkan dari pintu ke pintu.
“Targetnya ibu-ibu, ranah perumahan. Acara-acara undangan, pernikahan. Kita tawarkan juga ke pedagang-pedagang perumahan, seperti pecel lele, pecel ayam, rumah makan padang,” kata pria kelahiran 1984 yang menargetkan penjualan per hari hingga 600kg daging ayam.
Selain Hendro, ada juga Bujono alias Babeh yang terlibat aktif di Yayasan DeBintal. Sebagai mantan anggota ISIS Indonesia, Babeh mengaku pernah menculik seorang pendeta. Bahkan, mantan sopir taksi ini mengklaim pernah mengucap sumpah mati dalam rencana serangan ke Bandara Internasional Soekarno-Hatta, 2016 silam. Ia telah menjalani hukuman penjara bertahun-tahun, dan mengaku sudah bertobat.
Pertobatan itu setelah ia mengenal sejumlah orang di dalam penjara yang mengklaim diri sebagai Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Menurut Babeh, mereka memiliki pemahaman “takfiriyah”, yang “mengkafirkan siapa saja yang tak sepaham dengan dia”.
“Di situ saya mulai goyang,” kata Babeh.
“Setelah terjadi Bom Surabaya [2018], kok bisa melibatkan anak-anak dan perempuan, apakah perang Islam seperti itu, di situ saya mulai berubah. Karena saya sendiri pernah dikafirkan, gara-gara anak saya sekolah di negeri. Bagi mereka, karena saya tahu kalau belajar Pancasila sudah musyrik saja,” lanjut Babeh.
Di DeBintal, Babeh berperan sebagai pengemudi. Ia bersama teman-teman satu yayasan melakukan penjemputan narapidana teroris yang baru keluar dari penjara. Mengajak untuk tidak lagi mengambil jalan teror. Yayasan DeBintal melakukan pendekatan ekonomi kepada mantan napiter.
“Kalau dia memang mau berkeliling, dagang, atau buka kios agen ayam, itu bisa kita support. Nah, Alhamdulilah, teman-teman dari Cirebon itu sudah ada yang keliling di sini, pakai motor subuh-subuh berangkat berjualan, pagi pulang lagi,” kata Hendro.
Sejauh ini dari pengalaman Hendro, kebanyakan mantan napiter kesulitan mendapatkan pekerjaan setelah keluar dari penjara. Mereka punya administrasi dengan catatan kejahatan khusus, dan sulit mendapat penerimaan yang penuh dari masyarakat. Hal-hal yang membuat mantan napiter mudah kembali ke jaringan lama.
“Makanya untuk saat ini, DeBintal masih di tahap itu [bentuk dukungannya],” kata Hendro.
Sejauh ini, keberadaan RPH Debintal juga dimanfaatkan masyarakat sekitar, di antaranya Mulyono yang mengaku sudah mengetahui latar belakang dari pengurus dan anggota DeBintal.
“Kalau takut sih nggak, saya. Cuma kalau kita sama-sama orang Muslim, [mereka dulunya] salah gaul. Salah pergaulan. Karena kita hidup di NKRI, ngapain kita musuhin NKRI,” kata Mulyono.
Sekarang Mulyono ikut berjualan ayam potong yang diambil dari Yayasan DeBintal. “Istilahnya kita bisa berjualan dan dimodalin. Nggak kayak kita dagang, ada modal. Kalau nggak laku ya dibalikin yang laku duitnya disetor,” katanya.
Namun, Mulyono mengakui tak semua warga bisa keberadaan mantan napiter yang berada di DeBintal. “Ada warga yang belum paham benar. Istilahnya belum sehati sama di sini. Ada juga, tapi kan karena dia belum tahu,” katanya.
Saat ini, juga terdapat dua orang non-Muslim yang bekerja di DeBintal.