RUU Terorisme Keterlibatan TNI Dinilai Bisa Merusak Sistem Peradilan

Jakarta: Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Yati Andriyani menilai, keterlibatan TNI dalam penindakan terorisme bisa merusak sistem criminal justice system. Sebab, penegakan hukum sepenuhnya kewenangan Polri.

“Karena dalam sistem peradilan kita, penindakan dan penegakan hukum itu kewenangan ada di kepolisian,” kata Yati di Kantor Kontras di Jalan Kramat II, Senen, Jakarta Pusat, Kamis (1/1/2018) seperti dikutip Metrotvnes.com.

Yati menuturkan ketika tentara sudah terlibat, maka sudah menyalahi mandat reformasi bahwa TNI dan Polri punya tugas dan kewenangan yang berbeda. Menurut Yati, akuntabilitas TNI masih lemah.

“Situasi pada masa orde baru, TNI punya dwifungsi. Mereka punya kewenangan untuk masuk ke ranah sipil dan hukum yang sedang terjadi,” jelas dia.

TNI itu, lanjutnya, hanya punya peradilan militer, belum punya peradilan umum. Dalam konteks penindakan terorisme, ada kemungkinan seperti rentan akan penyalahgunaan, penangkapan, dan penyiksaan.

“TNI saat ini kan tidak tunduk pada peradilan umum, mereka punya sistem peradilan militer sampai saat ini belum direvisi,” tutur Yati.

Bila TNI tetap ingin dilibatkan masuk mengurus terorisme dan masuk dalam RUU Terorisme, dia bilang ada kemunduran.

“Kami juga heran kenapa ada ‘kengototan’ seperti ini, padahal TNI sudah disebutkan dia bisa kok terlibat, tapi harus mengikuti prasyarat seperti ada keputusan dari presiden dan DPR,” sebut Yati.

Dan pihaknya juga akan menempuh jalur hukum jika RUU tentang Terorisme nanti disahkan. Kontras akan menggugat UU tersebut ke Mahkamah Konstitusi. “Kalau ini menjadi UU masih ada upaya mekanisme hukum, bisa melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK),” katanya.

Dalam RUU tentang Terorisme masih dibahas di parlemen, Yati akan mendorong agar anggota pansus mendengarkan masukan dari masyarakat. “Terhadap peran aktif TNI nantinya yang lebih aktif dalam pemberantasan terorisme,” tambah dia.

Yati mengatakan, Panglima TNI harus terbuka menerima kritikan masyarakat sipil. Kontras tak bermaksud mengecilkan salah satu institusi. Hanya saja, Yati ingin TNI dan Polri memiliki posisi dan wewenang yang sesuai.

“Agar mereka betul-betul menjadi institusi yang profesional dan kredibel. Dengan cara tidak ada pencampur adukan tugas dan kewenangan TNI-Polri,” jelasnya.

Sebelumnya, Yati mengkhawatirkan adanya tumpang tindih terkait dengan aktifnya peran TNI dalam pencegahan teroris dalam RUU Terorisme. Selama ini, hanya Polri yang menempati kedudukan sebagai aparat sipil yang berperan dalam penegakan hukum.

“Padahal reformasi memandatkan pemisahan antara tugas TNI dan Polri. Jika TNI terlibat dalam pencegahan dan penindakan terorisme, nantinya punya tugas yang sama dengan Polri,” jelas Yati.