RUU Pemberantasan Terorisme Terganjal Masalah Definisi Terorisme

RUU Pemberantasan Terorisme Terganjal Masalah Definisi Terorisme

Jakarta – Ketua Panitia Khusus RUU Tindak Pidana Terorisme Muhammad Syafii mengatakan batalnya pengesahan RUU tersebut karena masih terganjal masalah definisi terorisme itu sendiri. Hal itulah yang membuat berlarut-larutnya pembahasan RUU di Dewan Perwakilan Rakyat, yang awalnya ditargetkan selesai Desember lalu.

Masalah definisi terorisme ini kembali disorot dalam diskusi mengenai RUU Pemberantasan Terorisme yang digelar di kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, hari Senin (16/4). Menurut Muhammad Syafii, harus ada definisi tentang teror, teroris, terorisme dan tindak pidana terorisme. Menurut Syafii, telah disepakati pengertian soal teror dan teroris dimasukkan dalam bagian penjelasan di RUU itu.

Syafii menambahkan definisi soal tindak pidana terorisme sudah disepakati namun definisi tentang terorisme tak kunjung disepakati. Karena itulah, RUU Tindak Pidana Terorisme ini gagal disahkan dalam rapat paripurna DPR pada Selasa pekan lalu (10/4). Pemerintah meminta tambahan dua pekan untuk merumuskan soal definisi terorisme.

Syafii menegaskan bahwa orang tidak bisa begitu saja dicap sebagai teroris, tanpa terbukti bahwa ia memang termasuk jaringan teroris atau melakukan tindakan yang dikategorikan sebagai teror.

“Jangan cara pandang orang jadi rusak. Apa yang terjadi di Yogya adalah kerusakan dahsyat. Kalau ada orang ganggu di gereja, marah publik kalau nggak disebut teroris. Itu artinya sudah berhasil masyarakat diyakinkan kalau yang melakukan Islam, korbannya itu gereja, harus teroris,” ujar Syafii dikutip via laman voaindonesia.com.

Syafii menjelaskan RUU Tindak Pidana Terorisme merupakan usul pemerintah yang dibuat berdasarkan semangat penegakan hukum, penghormatan terhadap hak asasi manusia, dan pemberantasan terorisme.

Ada tiga poin utama dalam RUU itu, yaitu pencegahan, penindakan, dan pemulihan korban. Dia menjelaskan dalam aspek pencegahan diupayakan agar tidak terjadi reproduksi pemahaman terorisme, sehingga dibuat program kesiapsiagaan nasional, kontraradikalisasi, dan deradikalisasi.

Dalam RUU itu, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) diperkuat sehingga selain berfungsi sebagai koordinator semua kementerian dan lembaga dalam menangani terorisme, BNPT juga menjadi satu-satunya badan yang berfungsi sebagai pusat analisis data terorisme dan pusat krisis penanganan terorisme.

Sementara dalam aspek penindakan, telah terjadi pergeseran dari tindak pidana murni materiil ke formil. Dia mencontohkan kalau ada orang menghasut dan merencanakan sebuah serangan teror, kalau tidak terbukti yang bersangkutan tidak bisa dikenai pasal-pasal dalam RUU Pemberantasan Terorisme.

Poin terakhir, yaitu aspek pemulihan korban, ada satu pasal yang disepakati, yakni korban serangan teroris adalah tanggung jawab negara. Mulai dari pemulihan medis sampai benar-benar pemulih. Ini mencakup pemulihan psikososial, pemulihan psikologi, pemberian kompensasi yang diajukan oleh korban, keluarganya, walinya, atau oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Ada pula pasal mengenai restitusi yang mengharuskan pelaku memberi ganti rugi kepada korban.

RUU Pemberantasan Terorisme juga memiliki pasal yang melindungi pelaku, termasuk aturan bahwa pelaku tidak boleh disiksa dan dihina selama proses penyelidikan, penyidikan, hingga ditetapkan sebagai narapidana.