RUU Antiterorisme Jangan Kesampingkan HAM

Jakarta – Anggota Koisi III DPR RI, Akbar Faisal mengatakan rancangan Undang-Undang (RUU) Antiterorisme dalam berbagai aspek, termasuk pasal penyadapan yang sudah disetujui, diharapkan tidak mengesampingkan nilai-nilai universal sesuai prinsip hak asasi manusia (HAM). Negara harus memberi perlindungan dan hak kepada orang yang menjadi korban.

“Salah satu poin yang alot dibahas dalam pembuatan RUU tersebut adalah terkait dengan penyadapan yang harus mendapatkan persetujuan hakim pengadilan negeri apabila sudah ada dua alat bukti. Hal itu menjadi perdebatan panjang adalah bagaimana caranya hakim yang dimintai persetujuan bisa mengetahui mengenai dua alat bukti,” kata Akbar Faisal dalam rilisnya kepada wartawan, Selasa (1/8/2017).

Politikus Partai Nasional Demokrat (Nasdem) itu mengungkapkan, Panitia Khusus Revisi UU Antiterorisme sudah menyepakati penyadapan terhadap terduga teroris bisa dilakukan terlebih dahulu sebelum ketua pengadilan negeri memberikan izin. Situasi dilapangan bisa saja berubah dan izin penyadapan bisa saja diabaikan. Sementara penyadapan harus disertai sejumlah poin yang harus terpenuhi.

Seperti diungkapkan Ketua Pansus RUU Antiterorisme DPR RI, Muhammad Syafi’i, aturan mengenai penyadapan tanpa perlu izin pengadilan, diatur dalam Pasal 31A, dan diawalnya terdapat frasa ‘dalam keadaan mendesak’. Hal itumengacu pada RUU KUHAP yaitu bahaya maut atau luka fisik yang serius dan mendesak, pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana terhadap keamanan negara, dan pemufakatan jahat yang merupakan karakteristik tindak pidana terorganisasi.

Dia juga mengatakan bahwa pasal ‘Guantanamo’ kemungkinan besar akan dihapus. Alasannya, ada 9 fraksi di DPR yang menolak pasal tersebut. Pada daftar inventaris masalah (DIM) ada 9 fraksi minta hapus. Hanya satu fraksi yang setuju yaitu Fraksi PDIP. Tapi, persyaratan yang diajukan jugas berat juga. Fraksi PDIP tidak begitu saja mendukung adanya pasal ‘Guantanamo’ dari revisi UU Antiterorisme. PDIP

Sekadar diketahui, Pasal 43A atau pasal ‘Guantanamo’ merupakan salah satu isu kontroversi dalam pembahasan RUU Terorisme. Disebut demikian, karena merujuk pada nama penjara milik Amerika Serikat di wilayah Kuba, di mana ratusan orang ditangkap dan disembunyikan karena diduga terlibat dalam jaringan teroris. Pasal ini mengatur kewenangan penyidik ataupun penuntut untuk menahan seseorang yang diduga terkait dengan kelompok teroris selama 6 bulan.

Pasal Guantamo itu berbunyi: Dalam rangka penanggulangan Tindak Pidana Terorisme, penyidik atau penuntut umum dapat melakukan pencegahan terhadap setiap orang tertentu yang diduga akan melakukan Tindak Pidana Terorisme untuk dibawa atau ditempatkan pada tempat tertentu yang menjadi wilayah hukum penyidik atau penuntut umum dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan.