Bogor – Keberadaan website yang berisi konten-konten radikal intoleran sudah sangat meresahkan. Pasalnya, konten radikal intoleran itu telah merusak sendi-sendi kehidupan bangsa Indonesia, baik dari sisi sosial kemasyarakat maupun keagamaan. Karena itu, website yang berisi konten-konten radikal itu harus ditertibkan, bahkan kalau perlu ditutup bila konten-kontennya jelas-jelas mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Kalau pun harus dilakukan penutupan atau pemberangusan, pertimbangannya harus fokus pada kontennya. Ini penting agar langkah itu tidak menimbulkan gelombang penolakan,” ujar Wakil Direktur Conference of Islamic Scholars (ICIS) KH. Khariri Makmun Lc, MA, di Bogor, Rabu (3/3/2021)
Dia menambahkan, kalau misalnya yang dilakukan adalah dengan menyebut misalnya website wahabi, hal tersebut bisa kontradiktif. Pasalnya wahabi menurutnya memiliki power dan pengaruh di dunia internasional melalui Arab Saudi.
”Ini bisa saja berimpilkasi pada hubungan antara Indonesia dan Arab Saudi. Jadi kita lebih mengedepankan cara-cara yang lebih diplomatis untuk melihat persoalan radikalisme di indonesia,” ujar Khariri.
Ia mengakui mayoritas website-website salafi dan wahabi cenderung keras, puritan dan radikal. Tapi kalau di take down mengatasnamakan wahabi, bisa saja yang terjadi ingin menyelesaikan persoalan tapi malah menimbulkan masalah baru. Menurutnya, tidak perlu dikedepankan dari sisi wahabi atau salafi, tapi menggunakan nilai-nilai moderat Islam sebagai standarnya.
”Kalau dia sudah tidak moderat, ada semacam konten-konten yang radikal atau intoleran itu yang kita take down. Dengan alasan bahwa ini punya pengaruh yang negatif terhadap kalangan milenial yang masih mencari bentuk islam,” tuturnya.
Menurutnya hal itu nantinya akan mempengaruhi bagaimana narasi-narasi keagamaan yang akan dibangun antara yang moderat dan toleran. Ia menjelaskan bahwa take down bisa dilakukan apabila tidak sesuai dengan konten-konten yang toleran, yang tasamuh, kemudian yang wasatiyah.
”Apalagi dengan perkembangan teknologi saat ini tidak ada satu orang pun, otoritas mana pun yang bisa mengatasi munculnya situs-situs baru (dengan konten radikal). Yang bisa kita lakukan itu sebetulnya ya cyber police atau polisi siber yang ada sekarang itu diefektifkan saja,” terang Khariri.
Ia menilai, hal ini sama seperti di jalan raya seperti ada kendaraan yang melanggar kemudian kena tilang. Kalau di lalu lintas siber ditemukan konten yang tidak sesuai dengan kultur Indonesia, maupun nilai-nilai keberagaman yang toleran, yang wasatiyah maka bisa langsung disikat saja. Kalau pun nanti dibikin baru, tinggal dibersihkan saja, jadi langsung dilakukan tindakan saja yang tegas.
”Ini mirip dengan lalu lintas, mereka akan terus membuat dan menciptakan website meskipun sudah di take down. Itu tidak apa-apa, yang penting pemerintah harus punya sistem yang kuat untuk mengantisipasi itu,” tegas anggota Komisi Dakwah MUI Pusat itu.
Meskipun dirinya menyampaikan bahwa mereka ini ghirahnya, semangatnya untuk berjuang ada, sehingga meskipun ditutup maka perjuangannya akan lebih kuat lagi. Tapi menurutnya itu tidak masalah. Khariri mencontohkan seperti saat melawan ISIS di Irak dan Suriah bahwa sekuat apapun mereka kalau dilakukan tindakan yang tegas dan selalu mengingatkan kepada publik bahwa konten-konten yang intoleran ini untuk dijauhi maka akan bisa mengikis itu.
”Jadi kita tidak hanya menutup, tapi kita juga mencerdaskan pembaca dan itu penting sekali. Karena itu kampanye mengenai narasi moderat, narasi toleran, narasi yang bisa membangun Islam yang rahmatan lil alamin. Sambil di lapangan kita juga terus melakukan tindakan-tindakan yang tegas untuk mengontrol apakah disana ada banyak pelanggaran konten atau tidak,” tukasnya.
Selain itu menurut Khariri dengan adanya UU no 5 tahun 2018 tentang penanggulangan terorisme, website dengan konten radikal intoleran bisa ditindak kalau memang sudah dianggap melakukan radikalisme atau terorisme di dunia maya. Sehingga dengan melakukan identifikasi bisa ketahuan juga domain tersebut milik siapa saja sehingga bisa langsung dilakukan penangkapan.
”Memang harus melibatkan banyak stakeholder khususnya untuk melatih kawan-kawan milenial dalam pencegahan, agar mereka juga bisa membahasakan narasi-narasi moderat dalam bahasa milenial. Saya kira itu cukup efektif,” tutupnya.