Surabaya – Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) terus memperkuat upaya pencegahan radikalisme di Indonesia, baik melalui kampanye di media sosial maupun sosialisasi langsung kepada masyarakat.
Kasubdit Pemberdayaan Masyarakat BNPT RI, Kolonel (Sus) Harianto, mengingatkan bahwa generasi muda menjadi sasaran empuk kelompok radikal karena mudah terpengaruh arus informasi digital maupun literasi bacaan.
“Media sosial bukan hanya tempat berbagi informasi, tetapi juga bisa menjadi pintu masuk penyebaran ideologi berbahaya. Begitu pula buku-buku yang dikemas menarik, namun sebenarnya menyelipkan paham radikal,” ujarnya dalam kegiatan Rembuk Merah Putih Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Jawa Timur di UIN Sunan Ampel Surabaya, Rabu (20/8/2025).
Harianto juga menyebut sejumlah tanda awal seseorang mulai terpapar paham radikal, antara lain menjadi anti-sosial, mudah marah, memutus komunikasi dengan keluarga, berjam-jam melakukan komunikasi tertutup, hingga memaksakan pandangan agama atau politik secara ekstrem.
“Perubahan sikap seperti ini harus diwaspadai sejak dini,” tegasnya.
Wakil Rektor III UIN Sunan Ampel Surabaya, Prof. Abd. Muhid, menambahkan pentingnya sinergi antara agama dan kearifan lokal sebagai benteng menghadapi paham radikal.
“Masyarakat kita memiliki kekayaan tradisi dan budaya yang selaras dengan nilai agama. Sinergi keduanya bisa menjadi tameng kuat menghadapi ideologi yang berusaha memecah belah bangsa,” katanya.
Ia menyebut empat strategi utama pencegahan terorisme. Pertama, penegakan hukum tegas terhadap pelaku teror dan penyebar ideologi radikal. Kedua, mengatasi akar masalah sosial seperti kemiskinan dan ketidakadilan. Ketiga, memperkuat pendidikan serta literasi kebangsaan. Keempat, membangun ketahanan masyarakat melalui budaya toleransi dan kebersamaan.
“Ketahanan masyarakat hanya bisa terwujud dengan kolaborasi, pendidikan, dan peran aktif semua pihak,” tandasnya.
Sementara itu, mantan anggota Dewan Pers, Stanley Adi Prasetyo, mengingatkan pentingnya peran media dalam membendung hoaks dan narasi radikal.
“Indonesia dibangun di atas perbedaan. Media harus menjadi pilar yang memperkuat toleransi dan perdamaian, bukan malah memecah belah,” ucapnya.
Stanley juga menegaskan bahwa radikalisme dan terorisme sama sekali tidak terkait dengan ajaran agama.
“Semua agama mengajarkan perdamaian. Media perlu meneguhkan pesan ini agar masyarakat tidak mudah terprovokasi,” tambahnya.
Damailah Indonesiaku Bersama Cegah Terorisme!