Jakarta – Rektor Universitas Pertahanan (Unhan) Laksamana Madya (Laksdya) TNI Amarulla Octavian menyatakan pelibatan TNI dalam penanganan tindak pidana terorisme bukan hal yang baru. Sejumlah negara maju bahkan sudah lama melakukannya.
Untuk di Indonesia, pelibatan TNI dalam memberantas terorisme pun, menurutnya tak menyimpang. Hal itu merupakan bagian dari operasi militer selain perang (OMSP) yang telah diatur di dalam undang-undang.
“Sudah sesuai dengan UU No 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Terorisme. Diatur di Pasal 43I ayat 1,” kata Octavian saat menjadi pembicara dalam Webinar Seri Keempat bertajuk “Operasi Militer Selain Perang (OMSP) TNI: Kontra Terorisme dalam Perspektif Keamanan Nasional”, di Jakarta, Selasa (22/9).
Dia menekankan perang melawan tindak pidana terorisme berkaitan dengan aksi militer dalam konteks penegakan hukum maupun kedaulatan. Perang melawan terorisme, lanjut dia, tidak lagi mengandalkan aktor-aktor penyelenggara keamanan nasional semata.
“Sudah saatnya melibatkan banyak lembaga negara dan semua institusi pemerintah. Termasuk juga melibatkan semua negara dan organisasi internasional dunia,” tutur Octavian, sebagaimana dikutip medcom.id.
Dalam perspektif TNI, aksi teror adalah salah satu bentuk OMSP dalam menghadapi peperangan asimetris dengan empat kriteria. Pertama, yaitu korban atau sasaran teror adalah pejabat negara serta institusi sipil dan militer yang menjadi simbol negara.
Kedua, senjata yang digunakan adalah senjata pemusnah massal, nuklir, gas beracun, bakteri atau virus. Ketiga, terjadi di laut dan udara yang menjadi kedaulatan atau hak berdaulat Indonesia. Dan keempat, terjadi di kapal atau pesawat registrasi internasional berbendera Indonesia atau negara lain.
“Jika suatu aksi teror terindikasi memenuhi salah satu atau lebih dari keempat kriteria tersebut, maka TNI sah demi hukum untuk bertindak mengatasinya,” ucap dia.